Resensi Novel "Sepatu
Terakhir"
Pandanganku tertuju pada sebuah novel dengan gambar sepatu dengan quote
“3% Novel 97% Inspirasi”. Novel apa ini? penasaran membawaku terpaku lama pada
rak buku novel di Gramedia. Tanpa ragu dan tanpa menawar (Emang ngga bisa di
tawar) aku langsung bilang ke kasir yang lumayan manis itu, "Bungkus ini
mba..."
Ternyata memang tidak salah beli, banyak hal yang menarik saya dapatkan dari
novel ini. Sepatu Terakhir begitu judul novel ini. Toni Tegar Sahidi
penulisnya. “You are what
you read” itu yang biasa aku dengar, tapi penulis novel
"Sepatu Terakhir" ini menyempurnakan kalimat itu dengan “you are what you write“.
Pokoknya, kalau sampai jadi film ini novel, bakal keren banget dah... :)
Sepatu Terakhir sebenarnya menceritakan tentang Pak Marwan yang seumur hidupnya
tidak jauh dari sepatu memutuskan untuk pensiun dari membuat sepatu. Keinginan
Pak Marwan ini awalnya ditentang oleh Alin, anak Pak Marwan. Bukan hanya Alin,
namun ketiga karyawan beliau, Mbah Joy, Pak Kus, dan Mas Slamet juga menentang
keinginan Pak Marwan. Apalagi desain sepatu Pak Marwan menjadi trend setter di
kalangan pabrik sepatu lainnya di Kota Blitar. Novel ini menceritakan
pergolakan batin tokoh utama, Alin, dengan ayahnya, Pak Marwan. Pak Marwan
sendiri beralasan bahwa beliau sudah tua dan ingin menikmati hidup, makanya
mengambil keputusan untuk berhenti membuat sepatu. Di balik pergolakan batin
antara anak dan ayah, karyawan dan pimpinan, muncul sebuah ide untuk membuat keputusan
pensiun Pak Marwan menjadi unik.
Akhirnya Alin, Pak Marwan, Mbah Joy, Pak Kus, dan Mas Slamet membuat
perjanjian, Perjanjian Isorjati namanya, bahwa Pak Marwan boleh pensiun dengan
syarat harus membuat sepatu terakhir sebagai masterpiece-nya.
Uniknya lagi sepatu terakhir ini dibuat untuk diberikan secara gratis dengan
syarat pemilik sepatu harus bercerita tentang perjalanan mereka mengenakan
sepatu tersebut. Pemilik sepatu juga dipilih oleh Pak Marwan sendiri melalui
proses seleksi. Selain itu sepatu tersebut tidak boleh dijual dan hanya boleh
diberikan secara gratis. Sepatu terakhir ini diberi nama AA Tom Whittaker. AA
adalah trade mark pabrik sepatu Pak Marwan, sedangkan Tom
Whittaker adalah tokoh yang menginspirasi Pak Marwan.
Cerita pemilik pertama AA Tom Whittaker dimulai dari seorang penjual balon.
Bagaimana seorang penjual balon yang sehari-hari tidak membutuhkan sepatu untuk
berjualan malah mendapatkan AA Tom Whittaker? Sepatu tersebut bahkan ditawar
oleh pejabat sampai jutaan rupiah namun Pak Marwan malah memilih memberikan AA
Tom Whittaker kepada penjual balon. Di sinilah cerita penuh inspirasi muncul
melalui sepatu tersebut. Ada sebuah perubahan hidup yang terjadi ketika sepatu
itu dipakai menjual balon oleh sang pemilik. Walaupun bukan sepatu itu yang
mengubah hidup si penjual balon, namun begitulah Allah SWT merencanakan
kehidupan hamba-NYA. Kehidupan sang penjual balon berubah sejak mengenakan AA
Tom Whittaker. Bukan hanya secara ekonomi namun juga secara pola pikir.
Perjalanan AA Tom Whittaker tak hanya berhenti ke penjual balon karena setelah
itu sepatu tersebut berpindah tangan ke seorang guru. Bukan hanya seorang guru
biasa saja, namun guru luar biasa. Sang guru merupakan korban keganasan korupsi
di dunia pendidikan dan harus diasingkan ke wilayah yang tidak menghargai
pendidikan. Cerita sang guru juga unik sebagaimana dia mendapatkan sepatu itu.
Namun sekali lagi, bukan karena sepatu itu yang mengubah pendirian sang guru.
AA Tom Whittaker hanya pembuka jalan untuk mencapai puncak kejayaan sebagai
guru hingga diundang oleh pihak Istana Negara. Uniknya lagi ketika sang guru
hendak memindahtangankan, sepatu tersebut justru hilang saat sholat di masjid
kantor bupati.
Sekalipun hilang digondol maling, ternyata AA Tom Whittaker sekali lagi
ditemukan oleh orang yang hidupnya berubah akibat sepatu itu. Bukan karena
dipakai saja, tetapi karena ingin digunakan sebagai alat lemparan. Sepatu
tersebut dibeli oleh mantan preman yang berjualan pecel lele di sebuah pasar.
Saat itu sekumpulan kucing yang sering mengganggu ingin mengambil makanan dari
pelanggan. Sang penjual yang sudah terbiasa melempar kucing tersebut kalap mata
ingin melemparnya dengan AA Tom Whittaker. Untunglah ada seorang pelanggan yang
menghalangi. Secara tidak langsung AA Tom Whittaker menjadi media pembuka jalan
pertemuan antara sang penjual dengan pelanggan setianya. Sekali lagi sepatu
tersebut hilang ketika ingin diserahkan ke orang lain. Hilanglah cerita AA Tom
Whittaker bersama orang yang mengambilnya.
AA Tom Whittaker sebenarnya bukanlah masterpiece dari kisah pensiun Pak Marwan.
Sepatu itu hanya pembuka jalan saja untuk perubahan yang lebih besar. Dari situ
juga saya mendapatkan pelajaran bahwa Pak Marwan mencoba untuk keluar dari
kondisi Institutionalized.
Kondisi tersebut seperti penjara bagi Pak Marwan sehingga tak mampu memisahkan
antara cintanya akan sepatu dengan cinta dengan Allah. Semenjak pensiun dari
dunia sepatu memang banyak sekali perubahan yang terjadi dalam hidup Alin, Mbah
Joy, Pak Kus, Mas Slamet, dan tentunya bagi Pak Marwan sendiri. Sekalipun
banyak gejolak batin yang terjadi dalam novel ini, satu hal yang saya tangkap secara
jelas. Tak selayaknya manusia menggantungkan kegembiraan dan kesedihan pada
sesuatu yang fana. Selama ini Pak Marwan hanya bisa tersenyum lepas jika
berurusan dengan sepatu dan menghapus kesedihan akan kematian anak sulungnya
serta perceraian, juga dengan membuat sepatu. Pada suatu saat juga manusia akan
bergerak untuk kembali pada kebenaran mutlak yang tidak ada satupun kefanaan
dalamnya. Yaitu Allah SWT.
0 comments:
Post a Comment