PDCA (Plan, Do,
Check, Act)
Rabu, 26 Maret
2014
Pukul 23.30 WIB.
Warkop Respati
“Fail to Plan
is Plan to Fail”
Begitu kata nenekku, yang artinya buanglah sampah
pada tempatnya. Haha. Ketika kita gagal membuat sebuah rencana, berarti
kita sedang merencanakan kegagalan. Karena takut kutukan dari kata-kata
nenek, akhirnya aku bersama enam orang
kawanku berembuk untuk membuat rencana sedetail mungkin untuk pendakian
ke
gunung Papandayan Jumat lusa. Warkop Respati masih menebar aroma harum
dari
roti bakar yang hampir hangus, dan warkop Respati akhirnya menjadi saksi
bertengkarnya
Salby dengan Arifin, beradu mulutnya Bung Herman dengan Tio, dan saling
bertatapannya aku dengan Hafizhah. Cihuuy… *Yang terakhir bohong.
Kami tahu perjalanan kami akan berat, karena itu kami siapkan
segalanya. Karena sebaik-baiknya orang yang tahu akan jauhnya perjalanan ialah
orang yang mempersiapkan bekal yang
cukup. Seperti halnya hidup, kita tahu dunia ini hanya tempat persinggahan
sementara untuk mengumpulkan bekal. Pertanyaannya sudahkah kita menyiapkan
bekal yang cukup untuk menghadap kepada-Nya? Pertanyaan ustad Maulana yang
belum sempat aku jawab. Hihi
Sejenak aku jadi teringat puisi "O Captain! My Captain! karya fenomenal dari seorang Walt Whitman. Inilah
universitas kehidupan kawan, hari ini aku ditunjuk untuk menjadi leader dari
perjalanan kali ini. Saat-saat yang menantang telah menanti. Karena ku yakin menjadi
seorang pemimpin tentunya penuh pertanggung jawaban.
Pelajaran pertama dalam pendakian ini adalah,
“Setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggung jawaban.”
***
Jumat, 28 maret
2014
Pukul 22.10 WIB.
PasarJumat
Malam ini, kami berkumpul di pertigaan pasar Jumat, ya… Jumat malam di
pasar Jumat. Mungkin jika kami berkumpul minggu malam, kami akan berkumpul di
pasar Minggu. Hahai. Formasi hampir lengkap, Aku mengajak dua sabahat penaku
Belda dan Liah, sementara lainnya ada Salby, Herman, Tio dan Hafizhah. Tinggal Arifin yang masih
dalam perjalanan.
“Yah…lewat noh…” Ucap Tio saat melihat bus Primajasa melenggang bagai
Miss Univers dengan anggunnya dihadapan kami. Rupanya tinggal satu bus lagi
yang masih beroperasi, dan kami masih menunggu Arifin dan dua sahabatnya yang
ia ajak untuk ikut mendaki. Seandainya bus terakhir lewat dan Arifin belum
datang, batallah perjalanan kami.
Kami menanti datangnya bus
terakhir yang tiba-tiba terbayang diimajiku seperti kereta kencana kiriman sang
Sultan Agung yang akan menjemput kami segerombolan anak muda pendaki dengan berat
beban di pundak yang melebihi berat badan sendiri menuju gunung Papandayan.
“Gila tuh, cewek…” Ucap supir taksi yang sedang ikhtiar menunggu penumpang
hingga larut saat melihat sahabat kami Belda Eldrit Janitra. Seberat orang
cadel mengeja namanya seberat itulah ia menggendong tas cerrier hingga terbungkuk-bungkuk.
Penasaran memaksaku untuk mengangkat tasnya, dan.. “Ini tas apa batu…? Jangan-jangan
didalamnya ada bayi, atau baju selemari dia tumpahkan dan masuk didalam cerier
yang begitu padat. Ah…mungkin tasnya rajin ng-Gym hingga bisa sepadat itu. Entahlah…”
Ucapku dalam hati.
Sementara disudut lain sahabat kami yang bernama Tio, seorang pria berperawakan jangkung dengan kepala
cepak unyil sedang sibuk membersihkan bandrol harga dari sandal nenek-nenek
yang ia baru beli di distro Empire alias emperan, tepatnnya di kolong fly over
pasar Rebo. Setelah lama menanti akhirnya datang juga, Arifin dan dua sahabatnya yang
bernama Opick dan Marwan tiba di pasar Jumat.
Arifin berpenampilan compang camping ala bule gembel. Kalau bule gembel banyak duitnya nah,
kalau dia enggak tau deh… prinsip Arifin seperti lagunya Bob Marley “No women no cry, no money no dong…” ahaai...
Walau dia berpenampilan seadanya, dia mengajarkan kepadaku bahwa kita
jangan hanya menilai orang dari penampilannya. Istilah sundanya “Don’t judge
book from the cover” artinya dilarang merokok. Haha
“Jiah...lo mau naik gunung apa mau kondangan cuy…” Ledek Arifin saat melihat
Tio dengan style anak gaul era 80-an. Memang malam itu Tio menjadi samsak tinju
alias sasaran empuk ejekan rombongan kami. Namun, suasana malam yang dingin menjadi
begitu hangat dengan banyolan-banyolan yang menggelitik dan mengocok perut.
Sendalnya Tio...
dan ini kakinya Tio Cyiin...hihi piis Yo.. :)
Gunung Papandayan seakan melambai dengan mesranya dalam heningku malam itu,
di atas bus yang ternyata dipadati juga oleh para pendaki yang siap menghentaskan
dahaga dipuncak gunung yang dingin, sunyi senyap, dengan gelitik angin malamnya
yang begitu menggigit.
Hampir pukul setengah sebelas malam. Akhirnya bus Primasjasa terakhir tujuan Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang tiba. Walau sudah malam bus AC bertarif 42 ribu penuh sesak, mungkin karena esok libur panjang.
Hampir pukul setengah sebelas malam. Akhirnya bus Primasjasa terakhir tujuan Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang tiba. Walau sudah malam bus AC bertarif 42 ribu penuh sesak, mungkin karena esok libur panjang.
Dalam
diam aku membagikan pandanganku kesetiap sudut bus, sesaat aku melihat
kawan-kawanku yang kini sudah terlelap dalam bunga tidurnya. Sampai
akhirnya pandanganku mendarat pada satu titik kulminasi antara sadar
atau tidak pada sosok cantik dibelakangku.
Alamak...ternyata ada seorang bidadari ikut dalam rombongan kami malam
ini. Hafizhah
terlihat anggun sekali walau kelopak matanya telah terkatup rapat.
Terima kasih
Tuhan atas anugrah yang begitu indah, bantu aku menjaganya. Cie...
***
Panggilan Tuhan di Terminal Guntur
Sabtu, 30 Maret 2014
Pukul 04.15 WIB. Terminal Guntur
Ketika ditanyakan tema apa
yang paling tepat untuk perjalanan kali ini, aku pikir temanis rasanya pas. Hihihi. “Srrrrrt…Ahh..” Seruput teh manis hangat dari gelas plastik milik bang Opick terdengar
begitu merdu. Ya, lebih merdu dari suara Arifin yang terus berdendang semalaman
dengan telinga yang terus tersumbat earphone. Jujur suaranya sih, bagus… tapi nggak enak didengar.
Kalau aku sih, No.. Nggak tahu mas Anang..Haha.
“Tuhan aku
datang…” Ucapku mantap dalam hati.
Kami berangkat menuju masjid dan shalat subuh berjamaah. Inilah pelajaran kedua dari pendakian ini, sesibuk apapun kita, tidak ada alasan untuk kita tidak memenuhi panggilanNya. Logikanya adalah ketika sang kekasih memanggil kita, kita akan segera datang, bahkan ketika bos kita memanggil kita, kita akan segera bergegas. Masa Tuhan yang menciptakan kekasih dan seorang bos memanggil kita santai-santai. Senang, susah, luang atau sibuk, jika Tuhan memanggil wajib bagi kita untuk segera bergegas.
Kami berangkat menuju masjid dan shalat subuh berjamaah. Inilah pelajaran kedua dari pendakian ini, sesibuk apapun kita, tidak ada alasan untuk kita tidak memenuhi panggilanNya. Logikanya adalah ketika sang kekasih memanggil kita, kita akan segera datang, bahkan ketika bos kita memanggil kita, kita akan segera bergegas. Masa Tuhan yang menciptakan kekasih dan seorang bos memanggil kita santai-santai. Senang, susah, luang atau sibuk, jika Tuhan memanggil wajib bagi kita untuk segera bergegas.
Selepas shalat subuh di masjid
yang kini menjadi lebih mirip tempat penampungan para pendaki, kami mencari angkot biru arah
Cisurupan. Negosiasi antara supir angkot dan seorang Arifin bos kolor dari serang berlangsung alot dan sengit.
Gila, si supir menaikan harga 2,5 kali lipat dari harga biasanya. Bayangkan dari
6000 kini menjadi 15.000 perkepala. Kredibilitas seorang Arifin sebagai bos kolor
dari serang dan sebagai orang padang yang pandai dagang benar-benar dipertaruhkan.
Damn, Arifin dipukul KO dan jatuh tersungkur. Rupanya korupsi berjamaah para supir
mengalahkan argumennya. Akhirnya dengan menelan air liur dalam-dalam, 15.000
rupaih keluar dari kantong yang mulai menipis dan mengantarkan kami hingga Cisurupan.
Pelajaran kedua dalam pendakian
ini adalah,
Sesibuk apapun kita, tidak ada
alasan untuk kita tidak memenuhi panggilanNya.
Logikanya ketika sang kekasih memanggil
kita, kita akan segera datang, bahkan ketika bos kita memanggil, kita akan segera
bergegas.
Masa Tuhan yang menciptakan kekasih dan seorang bos memanggil kita, kita
santai-santai. Senang, susah, luang atau sibuk, jika Tuhan memanggil sepatutnya
bagi kita untuk segera bergegas.
06.15 Gerbang Cisurupan
“Mpok kenal Joni…?” Tanya Marwan
“Joni mana ya…?” Jawab Mpok lontong sayur
“Joni tukang cilok…”
“Joni tukang cilok… emang dia mangkal disini?” si Mpok mulai bingung.
“Engga, dia mangkal di Tanah Abang.” Jawab Marwan tanpa dosa.
“Bwahahaha… kualat lo ngeledekin orang tua.”
“Maafin Marwan ya Mpok…”
Orang gila yang satu ini membuat gelak tawa kami berhamburan. Lontong sayur
asli garut si Mpok semakin nikmat terasa. Hari ini menjadi sejarah baru bagiku,
sarapan dengan orang saraf. Hihi piss bang Marwan. Setelah perut terisi full tank, kami bergegas menuju barisan mobil bak yang siap mengangkut para pendaki
menuju pos pertama gunung Papandayan. Dengan uang 20 ribu perorang kami bisa duduk dan naik diatas bak terbuka milik si mamang. Walau lebih mirip si mamang-mamang yang akan membawa
kambing yang siap dijual kepasar, kami menurut saja.
“Bwahahaha…Hihihihi…Huuuuhuuhu…” Kami bersenda gurau dan terawa
dengan riangnya.
Seratus meter jalan masih
halus, kami masih bisa bercanda ria dengan wajah sumringah. Setelah itu,
wajah-wajah riang itu hilang dan menjadi pucat pasi seperti kanebo serat jumbo yang
kering. Jalanan berlubang dan berbatulah penyebabnya, ditambah si supir yang
seharusnya menggantikan Rifat Sungkar menjadi pembalap Off Road. Gilanya lagi
kami berjalan di tepi jurang.
“Artagfirullah…Astagfirullah... Ashaduallaaillaha Illallah... Yah mati
dah…” Bang Opick dan Marwan berzikir sejadi-jadinya.
Pokoknya Histeria di Ancol kalah menyeramkan dari perjalanan kali ini dan
rasanya bayi diperut meronta-ronta ingin keluar. Ups…!
Doa
dan Usaha
09.30 WIB Pos Satu (Camp David)
Dari kiri, Salby, Liah, Belda, Herman, Hafizhah, Marwan, Opick, Gue, Arifin, dan yang setangah otaknya Tio (dibawah)
Sebenarnya selepas
perjalanan gila dengan supir gila, isi perut ini meronta-ronta, cacing-cacing
dalam perut bergelimpangan karena pusing. Namun, lagi-lagi tanggung jawab
sebagai ketua mengharuskanku untuk segera mengantri menyelesaikan perijinan
pendakian. Setelah selesai mengantri dan mendapat izin.
“Toilet…mana toilet…?” Tanyaku dengan garangnya seperti Gatot Kaca.
Panggilan alam untuk menyiram bumi dan memberi pupuk pada tanah agar
subur alias buang air ke toilet umum yang harus mengantri, menunda pendakian
kami hingga setengah jam. Akupun kembali seperti Arjuna dengan santainya. Hihi.
Setelah semua siap, aku memimpin doa sebelum melangkah menuju pendakian. Karena,
kita manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, selebihnya biarkan Tuhan yang
mengambil keputusan. Inilah pelajaran ketiga dalam pendakian ini. Berdoa tanpa
usaha sama saja bohong, dan berusaha tanpa berdoa adalah sombong.
Kami mohon ridlo-Mu dalam setiap langkah ini
Kami mohon ridlo-Mu dalam setiap langkah ini
Sayang hari itu tidak bawa
telur asin, karena air belerang dengan asap yang mengepul terus bergolak menyambut
kami dan rasanya enak kalau kita merebus telur, atau luluran sulfur. Hihi. Medan
berbatu dengan bau belerang yang semakin menyengat membuat langkah kami
melambat dan harus segera memakai masker.
Belerang oh belerang, semerbak aromamu bagaikan rendaman baju sebulan tidak
dijemur. Nafasku menjadi satu satu tidak beraturan, untung tidak pingsan,
karena dibelakangku ada sosok mistis, siapa lagi kalau bukan bung Herman. Cilaka
dua belas kalau sampai kejadian dia memberikan nafas buatan. Herman sikat gigi
cuma saat malam satu suro. Coba yang dibelakang itu Hafizhah atau Salby, aku langsung
pura-pura pingsan. Cihuuy…
“Droong…dong..dong..dong..dong…”
“Seperti suara motor cross?” dalam hatiku bertanya. Awalnya berpikir apakah
ini halusinasi gara-gara menghirup aroma belerang? ternyata bukan. Alamak…benar
saja motor Honda CB tahun 80-an dengan ban terlilit rantai bekas melaju dengan gagahnya
melewati rombongan para pendaki. Aku kembali teringat saat pertama kali
mendaki, saat terengah-engah di puncak gunung Gede. Ini sungguh menghina kami
para pendaki pemula. Bayangkan kami sedang tergopoh-gopoh dengan nafas yang
sesak, tiba-tiba terdengar suara dari si mamang-mamang;
“Mas gorengan, mas…?”
Aku dan beberapa kawanku cuma melongo beloon. Gila dia jualan gorengan di puncak
gunung. Parahnya lagi gorengan dan nasi uduk yang ia bawa masih hangat. Berarti
cepat sekali si mamang membawa gorengan itu kepuncak. “Amazing… Kenapa nggak sekalian saja buka swalayan mang..?”
Setalah dua setengah jam kami berjalan mendaki bebatuan, menyusuri hutan,
melawati lembah yang landscape benar mirip difilm Naruto, berharap melihat Naruto
melompat dari tebing satu ketebing yang lainnya mengejar Sasuke. Akhirnya kami
sampai di pondok Saladah. Tempat dimana kami semua harus menginap dan mendirikan
tenda untuk semalam. Disamping tempatnya yang nyaman dengan hamparan Edelweiss,
pondok Saladah kaya akan sumber air bersih. Kalau dihitung sih, cuma dua jam
perjalanan. Karena perbandingannya 80:20, Dua jam jalan, setengah jamnya untuk
foto-foto dan berselfie ria. Cihuuy…
Inilah pelajaran ketiga dalam pendakian ini,
“Berdoa tanpa usaha sama saja bohong, dan berusaha
tanpa berdoa adalah sombong.”
“Ini gunung apa pasar malam yah…” Ucapku dalam hati.
Ratusan tenda sudah berjejer seperti ikan asin yang di jemur sang
nelayan. Terlebih banyak anak-anak alay berkaos pink-pink berteriak dan menggelinjang
seperti anak kambing yang baru bisa berlari. Rupanya kami mendaki bertepatan dengan
acara sebuah event organizer yang hari itu juga mendaki. Dengan sampah yang
kini berserakan dimana-mana, sungguh miris melihatnya.
Dengan langkah lunglai aku dan Salby mencari tempat yang cocok untuk
kami mendirikan tenda yang tentunya jauh dari keramaian,pastinya jauh dari anak-anak
alay. Dua tenda akhirnya berdiri dengan tegaknya, kecuali satu tenda yang
rupanya kami lupa membawa framenya. Namun, otak bung Herman
rupanya sedang encer mungkin terlalu lama terjemur matahari. Masih dengan aroma mistisnya, ia menancapkan beberapa
batang pohon dan mengikatkan setiap sisi tenda tanpa frame ke batang-batang pohon itu, dan Taraaaaa…akhirnya,
jadilah kandang ayam. Hahai
Bung Herman sedang beraksi sebagai arsitek *Kandang ayam..hiihi Piss bung.. :)
Bung Herman sedang beraksi sebagai arsitek *Kandang ayam..hiihi Piss bung.. :)
Awalnya kami nyaman melepas lelah sejenak di dalamnya, sambil menikmati
tempe goreng hangus dan nasi aron alias nasi setengah matang. Namun beberapa saat
kemudian hujan turun dengan derasnya tanpa sms dan whatsap terlebih dahulu. Akhirnya tenda kami menjadi seperti perahu bocor
yang menampung berkubik-kubik air. Saat itu aku tersadar sekuat apapun kita,
pasti tidak akan mampu melawan kehendak Sang Kuasa. Saat itu pula Tuhan benar-benar
menepati janjinya, bahwa sekecil apapun perbuatan kita pasti akan diganjar oleh-Nya.
Mungkin kelimpungan kami hari ini memindahkan tenda akibat limpahan air
dari langit adalah akibat perbuatanku saat kecil. Seketika aku teringat saat membuat
banjir rumah semut dengan air seniku alias aku kencingi rumah si semut hingga mereka
berlarian mengevakuasi kasur dan perabotan dari rumahnya. Dan saat itu aku berteriak
dengan riangnya.
“Blankwire…Pemadam kebakaran…hihihihi.”
Terimakasih atas tegurannya hari ini Tuhan.
Dengan langkah sigap walau hujan mengguyur, Opick, Arifin, dan Marwan
mengevakuasi tenda yang hampir hanyut ketempat yang lebih tinggi. Sedang aku,
Herman, Belda dan Salby bergegas pula mengevakuasi tempe angus dan nasi aron kedalam perut,
baru setelah itu ikut mandi hujan. Sementara ditenda yang cukup aman Hafizhah dan
Liah mengamankan barang-barang agar tidak ikut basah.
“Jake…I Love you so much…” Ucap Rose kepada Jake saat Titanic akan tenggelam.
Aku terbayang adegan romantis film Titanic kawan. Saat melihat Tio dan
bang Opick saling berpandangan dan melempar tali-temali dan Marwan memalingkan
pandangan karena cemburu.
Awalnya aku meragukan Tio, namun setelah melihatnya merangkak
menaiki pohon dan mengikat tali temali dengan hujan yang terus mengguyur dan ia hanya memakai kaos
kutang hitam dan celana kolor seadanya, aku menjadi kagum dibuatnya. Kulitnya memang
seperti komodo yang tidak tembus oleh air dan angin sore itu.
Dan sudah menjadi
hal umum, pada saat sulit seperti ini akan terlihat asli dari kepribadian seseorang.
Mungkin ia adalah reinkarnasi dari sosok Tarzan, biasa juga Lutung kasarung
sih, dan seandainya ada seekor orang
utan menghampirinya pasti orang utan akan berkata,
Pelarajan ke empat
dalam pendakian ini adalah sifat dan jati diri seseorang akan muncul dalam
keadaan sulit.
“Sahabatmu adalah ia
yang bersedia menangis bersamamu bukan yang hanya mau tertawa bersamamu.”
Akhirnya waktu magrib tiba dan untuk pertama kalinya dalam
hidupku adzan di ketinggian 2665 Mdpl. Ini rekor pribadi, piagamnya nanti
ngeprint sendiri dan akan aku temple di mushalah kampung. Kereeen….Pasti Babeh
akan bilang ke tetangga dengan bangga, “Dialah anakku…!” hihi
Malam menjadi begitu dingin dengan kayu-kayu yang lembab terguyur hujan
dan akhirnya api kecil dari parapin yang menghangatkan tubuh kami yang mulai
menggigil.
Saat semua terlelap dalam mimpi basah, mimpi sambil terkena embun dan
semua jadi basah maksudnya. Aku terbangun melihat keadaan sekitar. Inilah momen
terindah yang aku rasakan. Berdua dan bercengkrama dengan Tuhan ditengah-tengah
kesunyian malam. Sajadah tergelar seadanya, bersuci dengan air secukupnya, tangan menengadah sekuatnya, dan
air mata ini mengalir dengan begitu derasnya.
***
Dalam heningnya pondok Saladah tertuang sebuah kerinduan mendalam dalam diri ini, secarik kertas dengan penerangan seadanya semakin membuat malamku semakin hanyut dalam kerinduan, sampai akhirnya terciptalah "Setitik Rindu".
"SETITIK RINDU"
Kini aku sendiri, menjadi sebongkah batu yang
terkikis oleh titik-titik air yang jatuh dari dahan yang ikut menjadi sedih
lantaran sang mentari tak kunjung datang. Namun rinduku takkan ikut mengering
seperti hutan mati itu. Disini aku kan selalu setia mendoakanmu, dimalam yang
sunyi bersama rintik-rintik hujan. Untukmu, yang kini singgah di hatiku walau
hanya tinggal serpihan. Untukmu, kekasih yang kurindukan.
Entah apa yang harus aku katakan kasih,
bayangmu selalu hadir dalam kibasan cahaya rembulan. Dalam udara dinginnya
malam, aroma Edelweis masih tersaji saat aku datang dan kau membukakan pintu
hatimu untukku. Senyummu memberi kedamaian hakiki yang mengalir bersama sajak
dan melodi binatang malam di pondok Saladah. Lelah dipundakku sejenak
menghilang. Dalam gelap kita berdua, sungguh saat itu aku tidak pernah merasa
khawatir tertatih mencari cahaya. Karena, seluruh terang kini terpancar jelas
dalam dirimu kasih.
Malam itu hanya ada kau dan aku kasih.
Sisanya kini adalah jarak yang membuat rinduku padamu beranak-pinak. Besarnya
cintaku padamu membuat sahara menjadi hamparan taman bunga. Sayangku padamu
menggubah melodi benci ini menjadi rindu tak terperi. Duhai kau yang kini jauh
disana, hadirlah sejenak bersama tetesan tintaku yang tertuang lesu pada secarik
kertas rindu. Penantianku tak akan pernah kering bersama sang pena yang selalu
basah dan tak kunjung kehabisan tinta untuk menuliskan kisah kita.
Dalam genggaman hujan malam ini kusampaikan
kerinduanku padamu. Mendongaklah ke atas kasih, dan tataplah langit malam ini,
pasti kau akan tahu sebanyak bulir-bulir kenangan yang berhamburan, sebanyak
itulah rinduku padamu yang kini terperangkap dalam relung seorang hamba sahaya
yang tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat menjadi seikhlas karang yang diterpa
ombak, namun tidak setegar dirimu.
Aku tahu, perpisahan ini bukan kita yang mau.
Namun, ku mohon hadirlah kembali sejenak. Bersama kita enyahkan lara, berdamai
bersama sang hari atas nama cinta yang pernah ada. Duduklah di sampingku
seperti hari itu, sambil menyimpul senyum manis dari wajah cantikmu.
Aku yakin suatu saat nanti kau akan tahu
betapa besarnya cintaku padamu. Seperti halnya roda yang berputar, dari cinta
menjadi rindu, dari temu menjadi semu, aku tahu cintamu kini abu-abu. Entah
kapan ia akan menjadi biru, tapi aku akan bersabar untuk tetap menunggu.
30
Maret 2014, Gunung Papandayan
Cinta Fitri aje boleh bersambung....
Bersambung ke Papandayan II yeh... Besok kita bertemu di puncak ok...
See U.... :)
See U.... :)
0 comments:
Post a Comment