.quickedit{ display:none; } }
RSS

O Captain! My Captain! (Catatan Pendakian Gunung Papandayan 2665 Mdpl) Jilid I

PDCA (Plan, Do, Check, Act)

Rabu, 26 Maret 2014
Pukul 23.30 WIB. Warkop Respati 

Fail to Plan is Plan to Fail Begitu kata nenekku, yang artinya buanglah sampah pada tempatnya. Haha. Ketika kita gagal membuat sebuah rencana, berarti kita sedang merencanakan kegagalan. Karena takut kutukan dari kata-kata nenek, akhirnya aku bersama enam orang kawanku berembuk untuk membuat rencana sedetail mungkin untuk pendakian ke gunung Papandayan Jumat lusa. Warkop Respati masih menebar aroma harum dari roti bakar yang hampir hangus, dan warkop Respati akhirnya menjadi saksi bertengkarnya Salby dengan Arifin, beradu mulutnya Bung Herman dengan Tio, dan saling bertatapannya aku dengan Hafizhah. Cihuuy… *Yang terakhir bohong.
Kami tahu perjalanan kami akan berat, karena itu kami siapkan segalanya. Karena sebaik-baiknya orang yang tahu akan jauhnya perjalanan ialah orang yang mempersiapkan bekal  yang cukup. Seperti halnya hidup, kita tahu dunia ini hanya tempat persinggahan sementara untuk mengumpulkan bekal. Pertanyaannya sudahkah kita menyiapkan bekal yang cukup untuk menghadap kepada-Nya? Pertanyaan ustad Maulana yang belum sempat aku jawab. Hihi 
Sejenak aku jadi teringat puisi "O Captain! My Captain! karya fenomenal dari seorang Walt Whitman. Inilah universitas kehidupan kawan, hari ini aku ditunjuk untuk menjadi leader dari perjalanan kali ini. Saat-saat yang menantang telah menanti. Karena ku yakin menjadi seorang pemimpin tentunya penuh pertanggung jawaban. 
Pelajaran pertama dalam pendakian ini adalah,
“Setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban.”
***

Jumat, 28 maret 2014
Pukul 22.10 WIB. PasarJumat
Malam ini, kami berkumpul di pertigaan pasar Jumat, ya… Jumat malam di pasar Jumat. Mungkin jika kami berkumpul minggu malam, kami akan berkumpul di pasar Minggu. Hahai. Formasi hampir lengkap, Aku mengajak dua sabahat penaku Belda dan Liah, sementara lainnya ada Salby, Herman, Tio dan Hafizhah. Tinggal Arifin yang masih dalam perjalanan. 
“Yah…lewat noh…” Ucap Tio saat melihat bus Primajasa melenggang bagai Miss Univers dengan anggunnya dihadapan kami. Rupanya tinggal satu bus lagi yang masih beroperasi, dan kami masih menunggu Arifin dan dua sahabatnya yang ia ajak untuk ikut mendaki. Seandainya bus terakhir lewat dan Arifin belum datang, batallah perjalanan kami. 
Kami menanti datangnya bus terakhir yang tiba-tiba terbayang diimajiku seperti kereta kencana kiriman sang Sultan Agung yang akan menjemput kami segerombolan anak muda pendaki dengan berat beban di pundak yang melebihi berat badan sendiri menuju gunung Papandayan. 
“Gila tuh, cewek…” Ucap supir taksi yang sedang ikhtiar menunggu penumpang hingga larut saat melihat sahabat kami Belda Eldrit Janitra. Seberat orang cadel mengeja namanya seberat itulah ia menggendong tas cerrier hingga terbungkuk-bungkuk. 

Penasaran memaksaku untuk mengangkat tasnya, dan.. “Ini tas apa batu…? Jangan-jangan didalamnya ada bayi, atau baju selemari dia tumpahkan dan masuk didalam cerier yang begitu padat. Ah…mungkin tasnya rajin ng-Gym hingga bisa sepadat itu. Entahlah…” Ucapku dalam hati. 

Sementara disudut lain sahabat kami yang bernama Tio,  seorang pria berperawakan jangkung dengan kepala cepak unyil sedang sibuk membersihkan bandrol harga dari sandal nenek-nenek yang ia baru beli di distro Empire alias emperan, tepatnnya di kolong fly over pasar Rebo. Setelah lama menanti akhirnya datang juga, Arifin dan dua sahabatnya yang bernama Opick dan Marwan tiba di pasar Jumat. 

Arifin berpenampilan compang camping ala bule gembel. Kalau bule gembel banyak duitnya nah, kalau dia enggak tau deh… prinsip Arifin seperti lagunya Bob Marley  “No women no cry, no money no dong…” ahaai...
Walau dia berpenampilan seadanya, dia mengajarkan kepadaku bahwa kita jangan hanya menilai orang dari penampilannya. Istilah sundanya “Don’t judge book from the cover” artinya dilarang merokok. Haha

“Jiah...lo mau naik gunung apa mau kondangan cuy…” Ledek Arifin saat melihat Tio dengan style anak gaul era 80-an. Memang malam itu Tio menjadi samsak tinju alias sasaran empuk ejekan rombongan kami. Namun, suasana malam yang dingin menjadi begitu hangat dengan banyolan-banyolan yang menggelitik dan mengocok perut. 
                                                   Sendalnya Tio...

                    dan ini kakinya Tio Cyiin...hihi piis Yo.. :)

                 

Gunung Papandayan seakan melambai dengan mesranya dalam heningku malam itu, di atas bus yang ternyata dipadati juga oleh para pendaki yang siap menghentaskan dahaga dipuncak gunung yang dingin, sunyi senyap, dengan gelitik angin malamnya yang begitu menggigit.
Hampir pukul setengah sebelas malam. Akhirnya bus Primasjasa terakhir tujuan Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang tiba. Walau sudah malam bus AC bertarif 42 ribu  penuh sesak, mungkin karena esok libur panjang. 

Dalam diam aku membagikan pandanganku kesetiap sudut bus, sesaat aku melihat kawan-kawanku yang kini sudah terlelap dalam bunga tidurnya. Sampai akhirnya pandanganku mendarat pada satu titik kulminasi antara sadar atau tidak pada sosok cantik dibelakangku. Alamak...ternyata ada seorang bidadari ikut dalam rombongan kami malam ini. Hafizhah terlihat anggun sekali walau kelopak matanya telah terkatup rapat. Terima kasih Tuhan atas anugrah yang begitu indah, bantu aku menjaganya. Cie...
***


Panggilan Tuhan di Terminal Guntur 
Sabtu, 30 Maret 2014

Pukul 04.15 WIB. Terminal Guntur

                                Nego angkot di terminal Guntur


         Ketika ditanyakan tema apa yang paling tepat untuk perjalanan kali ini, aku pikir temanis rasanya pas. Hihihi. “Srrrrrt…Ahh..” Seruput teh manis hangat dari gelas plastik milik bang Opick terdengar begitu merdu. Ya, lebih merdu dari suara Arifin yang terus berdendang semalaman dengan telinga yang terus tersumbat earphone. Jujur suaranya sih, bagus… tapi nggak enak didengar. Kalau aku sih, No.. Nggak tahu mas Anang..Haha.

        “Tuhan aku datang…” Ucapku mantap dalam hati. 

     Kami berangkat menuju masjid dan shalat subuh berjamaah. Inilah pelajaran  kedua dari pendakian ini, sesibuk apapun kita, tidak ada alasan untuk kita tidak memenuhi panggilanNya. Logikanya adalah ketika sang kekasih memanggil kita, kita akan segera datang, bahkan ketika bos kita memanggil kita, kita akan segera bergegas. Masa Tuhan yang menciptakan kekasih dan seorang bos memanggil kita santai-santai. Senang, susah, luang atau sibuk, jika Tuhan memanggil wajib bagi kita untuk segera bergegas. 

   Selepas shalat subuh di masjid yang kini menjadi lebih mirip tempat penampungan para pendaki, kami mencari angkot biru arah Cisurupan. Negosiasi antara supir angkot dan seorang Arifin bos kolor dari serang berlangsung alot dan sengit. Gila, si supir menaikan harga 2,5 kali lipat dari harga biasanya. Bayangkan dari 6000 kini menjadi 15.000 perkepala. Kredibilitas seorang Arifin sebagai bos kolor dari serang dan sebagai orang padang yang pandai dagang benar-benar dipertaruhkan. Damn, Arifin dipukul KO dan jatuh tersungkur. Rupanya korupsi berjamaah para supir mengalahkan argumennya. Akhirnya dengan menelan air liur dalam-dalam, 15.000 rupaih keluar dari kantong yang mulai menipis dan mengantarkan kami hingga Cisurupan.


Pelajaran kedua dalam pendakian ini adalah,

Sesibuk apapun kita, tidak ada alasan untuk kita tidak memenuhi panggilanNya.

Logikanya ketika sang kekasih memanggil kita, kita akan segera datang, bahkan ketika bos kita memanggil, kita akan segera bergegas. 
Masa Tuhan yang menciptakan kekasih dan seorang bos memanggil kita, kita santai-santai. Senang, susah, luang atau sibuk, jika Tuhan memanggil sepatutnya bagi kita untuk segera bergegas.




 
Gerbang Cisurupan

06.15 Gerbang Cisurupan

“Mpok kenal Joni…?” Tanya Marwan
“Joni mana ya…?” Jawab Mpok lontong sayur
“Joni tukang cilok…”
“Joni tukang cilok… emang dia mangkal disini?” si Mpok mulai bingung.
“Engga, dia mangkal di Tanah Abang.” Jawab Marwan tanpa dosa.
“Bwahahaha… kualat lo ngeledekin orang tua.”
“Maafin Marwan ya Mpok…” 
                                         Kupat tahu dan lontong sayur asli garut


      Orang gila yang satu ini membuat gelak tawa kami berhamburan. Lontong sayur asli garut si Mpok semakin nikmat terasa. Hari ini menjadi sejarah baru bagiku, sarapan dengan orang saraf. Hihi piss bang Marwan. Setelah perut terisi full tank, kami bergegas menuju barisan mobil bak yang siap mengangkut para pendaki menuju pos pertama gunung Papandayan. Dengan uang 20 ribu perorang kami bisa duduk dan naik diatas bak terbuka milik si mamang. Walau lebih mirip si mamang-mamang yang akan membawa kambing yang siap dijual kepasar, kami menurut saja.
“Bwahahaha…Hihihihi…Huuuuhuuhu…” Kami bersenda gurau dan terawa dengan riangnya.

      Seratus meter jalan masih halus, kami masih bisa bercanda ria dengan wajah sumringah. Setelah itu, wajah-wajah riang itu hilang dan menjadi pucat pasi seperti kanebo serat jumbo yang kering. Jalanan berlubang dan berbatulah penyebabnya, ditambah si supir yang seharusnya menggantikan Rifat Sungkar menjadi pembalap Off Road. Gilanya lagi kami berjalan di tepi jurang. 


 “Artagfirullah…Astagfirullah... Ashaduallaaillaha Illallah... Yah mati dah…” Bang Opick dan Marwan berzikir sejadi-jadinya.  
Pokoknya Histeria di Ancol kalah menyeramkan dari perjalanan kali ini dan rasanya bayi diperut meronta-ronta ingin keluar. Ups…!

Doa dan Usaha
09.30 WIB Pos Satu (Camp David)
Dari kiri, Salby, Liah, Belda, Herman, Hafizhah, Marwan, Opick, Gue, Arifin, dan yang setangah otaknya Tio (dibawah)


       Sebenarnya selepas perjalanan gila dengan supir gila, isi perut ini meronta-ronta, cacing-cacing dalam perut bergelimpangan karena pusing. Namun, lagi-lagi tanggung jawab sebagai ketua mengharuskanku untuk segera mengantri menyelesaikan perijinan pendakian. Setelah selesai mengantri dan mendapat izin.

        “Toilet…mana toilet…?” Tanyaku dengan garangnya seperti Gatot Kaca. 


Panggilan alam untuk menyiram bumi dan memberi pupuk pada tanah agar subur alias buang air ke toilet umum yang harus mengantri, menunda pendakian kami hingga setengah jam. Akupun kembali seperti Arjuna dengan santainya. Hihi. Setelah semua siap, aku memimpin doa sebelum melangkah menuju pendakian. Karena, kita manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, selebihnya biarkan Tuhan yang mengambil keputusan. Inilah pelajaran ketiga dalam pendakian ini. Berdoa tanpa usaha sama saja bohong, dan berusaha tanpa berdoa adalah sombong. 

                              Kami mohon ridlo-Mu dalam setiap langkah ini

          Sayang hari itu tidak bawa telur asin, karena air belerang dengan asap yang mengepul terus bergolak menyambut kami dan rasanya enak kalau kita merebus telur, atau luluran sulfur. Hihi. Medan berbatu dengan bau belerang yang semakin menyengat membuat langkah kami melambat dan harus segera memakai masker.

Belerang oh belerang, semerbak aromamu bagaikan rendaman baju sebulan tidak dijemur. Nafasku menjadi satu satu tidak beraturan, untung tidak pingsan, karena dibelakangku ada sosok mistis, siapa lagi kalau bukan bung Herman. Cilaka dua belas kalau sampai kejadian dia memberikan nafas buatan. Herman sikat gigi cuma saat malam satu suro. Coba yang dibelakang itu Hafizhah atau Salby, aku langsung pura-pura pingsan. Cihuuy…

“Droong…dong..dong..dong..dong…”
“Seperti suara motor cross?” dalam hatiku bertanya. Awalnya berpikir apakah ini halusinasi gara-gara menghirup aroma belerang? ternyata bukan. Alamak…benar saja motor Honda CB tahun 80-an dengan ban terlilit rantai bekas melaju dengan gagahnya melewati rombongan para pendaki. Aku kembali teringat saat pertama kali mendaki, saat terengah-engah di puncak gunung Gede. Ini sungguh menghina kami para pendaki pemula. Bayangkan kami sedang tergopoh-gopoh dengan nafas yang sesak, tiba-tiba terdengar suara dari si mamang-mamang;


“Mas gorengan, mas…?” 
Aku dan beberapa kawanku cuma melongo beloon. Gila dia jualan gorengan di puncak gunung. Parahnya lagi gorengan dan nasi uduk yang ia bawa masih hangat. Berarti cepat sekali si mamang membawa gorengan itu kepuncak. “Amazing… Kenapa nggak sekalian saja buka swalayan mang..?”

Setalah dua setengah jam kami berjalan mendaki bebatuan, menyusuri hutan, melawati lembah yang landscape benar mirip difilm Naruto, berharap melihat Naruto melompat dari tebing satu ketebing yang lainnya mengejar Sasuke. Akhirnya kami sampai di pondok Saladah. Tempat dimana kami semua harus menginap dan mendirikan tenda untuk semalam. Disamping tempatnya yang nyaman dengan hamparan Edelweiss, pondok Saladah kaya akan sumber air bersih. Kalau dihitung sih, cuma dua jam perjalanan. Karena perbandingannya 80:20, Dua jam jalan, setengah jamnya untuk foto-foto dan berselfie ria. Cihuuy…


              Kalau di merapi dulu ada mbah Marijan di Papandayan ada Mbah Opick


Inilah pelajaran ketiga dalam pendakian ini,
“Berdoa tanpa usaha sama saja bohong, dan berusaha tanpa berdoa adalah sombong.”


Setitik Rindu
14.30 WIB Pondok Saladah
                      Hai Edelweiss, apa kabar...? senang bisa berjumpa kembali. 
“Ini gunung apa pasar malam yah…” Ucapku dalam hati.
Ratusan tenda sudah berjejer seperti ikan asin yang di jemur sang nelayan. Terlebih banyak anak-anak alay berkaos pink-pink berteriak dan menggelinjang seperti anak kambing yang baru bisa berlari. Rupanya kami mendaki bertepatan dengan acara sebuah event organizer yang hari itu juga mendaki. Dengan sampah yang kini berserakan dimana-mana, sungguh miris melihatnya.

Dengan langkah lunglai aku dan Salby mencari tempat yang cocok untuk kami mendirikan tenda yang tentunya jauh dari keramaian,pastinya jauh dari anak-anak alay. Dua tenda akhirnya berdiri dengan tegaknya, kecuali satu tenda yang rupanya kami lupa membawa framenya. Namun, otak bung Herman rupanya sedang encer mungkin terlalu lama terjemur matahari. Masih dengan aroma mistisnya, ia menancapkan beberapa batang pohon dan mengikatkan setiap sisi tenda tanpa frame ke batang-batang pohon itu, dan Taraaaaa…akhirnya, jadilah kandang ayam. Hahai

        Bung Herman sedang beraksi sebagai arsitek *Kandang ayam..hiihi Piss bung.. :)

Awalnya kami nyaman melepas lelah sejenak di dalamnya, sambil menikmati tempe goreng hangus dan nasi aron alias nasi setengah matang. Namun beberapa saat kemudian hujan turun dengan derasnya tanpa sms dan whatsap terlebih dahulu.  Akhirnya tenda kami menjadi seperti perahu bocor yang menampung berkubik-kubik air. Saat itu aku tersadar sekuat apapun kita, pasti tidak akan mampu melawan kehendak Sang Kuasa. Saat itu pula Tuhan benar-benar menepati janjinya, bahwa sekecil apapun perbuatan kita pasti akan diganjar oleh-Nya. 

Mungkin kelimpungan kami hari ini memindahkan tenda akibat limpahan air dari langit adalah akibat perbuatanku saat kecil. Seketika aku teringat saat membuat banjir rumah semut dengan air seniku alias aku kencingi rumah si semut hingga mereka berlarian mengevakuasi kasur dan perabotan dari rumahnya. Dan saat itu aku berteriak dengan riangnya.


“Blankwire…Pemadam kebakaran…hihihihi.” 


Terimakasih atas tegurannya hari ini Tuhan.

Dengan langkah sigap walau hujan mengguyur, Opick, Arifin, dan Marwan mengevakuasi tenda yang hampir hanyut ketempat yang lebih tinggi. Sedang aku, Herman, Belda dan Salby bergegas pula mengevakuasi tempe angus dan nasi aron kedalam perut, baru setelah itu ikut mandi hujan. Sementara ditenda yang cukup aman Hafizhah dan Liah mengamankan barang-barang agar tidak ikut basah.

“Jake…I Love you so much…” Ucap Rose kepada Jake saat Titanic akan tenggelam.  

Aku terbayang adegan romantis film Titanic kawan. Saat melihat Tio dan bang Opick saling berpandangan dan melempar tali-temali dan Marwan memalingkan pandangan karena cemburu. 
Awalnya aku meragukan Tio, namun setelah melihatnya merangkak menaiki pohon dan mengikat tali temali dengan hujan   yang terus mengguyur dan ia hanya memakai kaos kutang hitam dan celana kolor seadanya, aku menjadi kagum dibuatnya. Kulitnya memang seperti komodo yang tidak tembus oleh air dan angin sore itu. 
Dan sudah menjadi hal umum, pada saat sulit seperti ini akan terlihat asli dari kepribadian seseorang. Mungkin ia adalah reinkarnasi dari sosok Tarzan, biasa juga Lutung kasarung sih,  dan seandainya ada seekor orang utan menghampirinya pasti orang utan akan berkata, 

“Kaukah, anakku yang hilang…?” 
                                 Ini dia Tio "Tarzan yang Tertukar"


Pelarajan ke empat dalam pendakian ini adalah sifat dan jati diri seseorang akan muncul dalam keadaan sulit.
“Sahabatmu adalah ia yang bersedia menangis bersamamu bukan yang hanya mau tertawa bersamamu.”


Akhirnya waktu magrib tiba dan untuk pertama kalinya dalam hidupku adzan di ketinggian 2665 Mdpl. Ini rekor pribadi, piagamnya nanti ngeprint sendiri dan akan aku temple di mushalah kampung. Kereeen….Pasti Babeh akan bilang ke tetangga dengan bangga, “Dialah anakku…!” hihi 

Malam menjadi begitu dingin dengan kayu-kayu yang lembab terguyur hujan dan akhirnya api kecil dari parapin yang menghangatkan tubuh kami yang mulai menggigil. 

Saat semua terlelap dalam mimpi basah, mimpi sambil terkena embun dan semua jadi basah maksudnya. Aku terbangun melihat keadaan sekitar. Inilah momen terindah yang aku rasakan. Berdua dan bercengkrama dengan Tuhan ditengah-tengah kesunyian malam. Sajadah tergelar seadanya, bersuci dengan air secukupnya, tangan menengadah sekuatnya, dan air mata ini mengalir dengan begitu derasnya.
***

        Dalam heningnya pondok Saladah tertuang sebuah kerinduan mendalam dalam diri ini, secarik kertas dengan penerangan seadanya semakin membuat malamku semakin hanyut dalam kerinduan, sampai akhirnya terciptalah "Setitik Rindu".
                            

                     "SETITIK RINDU"

Kini aku sendiri, menjadi sebongkah batu yang terkikis oleh titik-titik air yang jatuh dari dahan yang ikut menjadi sedih lantaran sang mentari tak kunjung datang. Namun rinduku takkan ikut mengering seperti hutan mati itu. Disini aku kan selalu setia mendoakanmu, dimalam yang sunyi bersama rintik-rintik hujan. Untukmu, yang kini singgah di hatiku walau hanya tinggal serpihan. Untukmu, kekasih yang kurindukan.


Entah apa yang harus aku katakan kasih, bayangmu selalu hadir dalam kibasan cahaya rembulan. Dalam udara dinginnya malam, aroma Edelweis masih tersaji saat aku datang dan kau membukakan pintu hatimu untukku. Senyummu memberi kedamaian hakiki yang mengalir bersama sajak dan melodi binatang malam di pondok Saladah. Lelah dipundakku sejenak menghilang. Dalam gelap kita berdua, sungguh saat itu aku tidak pernah merasa khawatir tertatih mencari cahaya. Karena, seluruh terang kini terpancar jelas dalam dirimu kasih.


Malam itu hanya ada kau dan aku kasih. Sisanya kini adalah jarak yang membuat rinduku padamu beranak-pinak. Besarnya cintaku padamu membuat sahara menjadi hamparan taman bunga. Sayangku padamu menggubah melodi benci ini menjadi rindu tak terperi. Duhai kau yang kini jauh disana, hadirlah sejenak bersama tetesan tintaku yang tertuang lesu pada secarik kertas rindu. Penantianku tak akan pernah kering bersama sang pena yang selalu basah dan tak kunjung kehabisan tinta untuk menuliskan kisah kita. 


Dalam genggaman hujan malam ini kusampaikan kerinduanku padamu. Mendongaklah ke atas kasih, dan tataplah langit malam ini, pasti kau akan tahu sebanyak bulir-bulir kenangan yang berhamburan, sebanyak itulah rinduku padamu yang kini terperangkap dalam relung seorang hamba sahaya yang tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat menjadi seikhlas karang yang diterpa ombak, namun tidak setegar dirimu. 


Aku tahu, perpisahan ini bukan kita yang mau. Namun, ku mohon hadirlah kembali sejenak. Bersama kita enyahkan lara, berdamai bersama sang hari atas nama cinta yang pernah ada. Duduklah di sampingku seperti hari itu, sambil menyimpul senyum manis dari wajah cantikmu. 


Aku yakin suatu saat nanti kau akan tahu betapa besarnya cintaku padamu. Seperti halnya roda yang berputar, dari cinta menjadi rindu, dari temu menjadi semu, aku tahu cintamu kini abu-abu. Entah kapan ia akan menjadi biru, tapi aku akan bersabar untuk tetap menunggu. 


                                         30 Maret 2014, Gunung Papandayan






Cinta Fitri aje boleh bersambung.... 
Bersambung ke Papandayan II yeh... Besok kita bertemu di puncak ok...
See U.... :)










  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment