"Semua terasa mesra tapi kosong." -GIE-
Sungguh
tengah hari ini langit Ciputat seakan membara, matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi.
Seperti karang yang yang tegak berdiri dalam deburan ombak, terpaan badai, dan
sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan sambil
bertasbih tak kenal kesah. Atau seperti matahari yang telah jutaan tahun
membakar tubuhnya untuk memberi penerangan ke bumi dan seantero mayapada. Ia
tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang sedikit pun menjalankan titah
Tuhan. Seperti itu pulalah aku melihat mereka tergugah dan menggerakkan hati
untuk tetap menunaikan panggilan Tuhan. Merekalah sesungguhnya yang benar tebal
imannya, yang memiliki tekad beribadah sesempurna mungkin dalam segala cuaca
dan musim.
Aku
jadi teringat kenangan saat mendaki gunung Papandayan bersama lima orang wanita-wanita
surga yang dengan sekuat tenaga menjalankan titah Tuhannya meski kondisi sulit,
saat itulah tantangan sesungguhnya untuk ujian keimanan kita, begitu ujar
mereka. Dalam kondisi minus dengan desir angin pegunungan yang menusuk ke
sum-sum tulang, aku terbangun dari dan sedikit menyibak slepping bag lantaran mendengar lantunan ayat suci dari luar tenda.
Saat melihat keluar tenda seketika tertegun hati ini saat mereka sedang
menunaikan shalat tahajud bersama-sama di bawah pohon. Segala puji untukMu yang
menciptakan hamba-hambaMu yang begitu taat dan berhati baja dalam menjalankan
perintahMu.
Ups..tahan,
tahan… Sebelum lanjut bacanya kamu sudah shalat belum…?
Jangan
membuat Ia menunggu yah, apa tidak malu kita berdoa kepadaNya dan ingin segera
dikabulkan doanya, sedang ketika Ia memanggil untuk menghadap kepadanya kita
lambat datang. Setelah itu ketika lambatnya doa terkabulkan kita menyalahkan Ia
yang Maha Pengabul segala doa. Jangan pernah salahkan lambat datangnya rahmat
kepadamu, salahkanlah dirimu yang lambat untuk datang menjemputnya.
“Allah dulu, Allah lagi, Allah
terus…” begitu ucap sang ustad menasihati.
***
Sama
seperti kita yang memiliki rasa yang sama kasih, mintalah kepadaNya yang Maha
mambulak balikan hati, agar selalu ditetapkan hati ini di jalanNya. Karena
apalah daya kita, kalau bukan segala sesuatunya kembali kepadaNya. Kita hanya
bisa berencana dan berusaha, untuk hasil akhirnya biarlah Ia menentukan.
Sesaat
kembali mengenang catatan pendakian yang telah lama menjadi sarang laba-laba
lantaran tidak pernah lagi aku singgah walau hanya sejenak membacanya.
Terjerumus dalam lubang jalanan, digilas kaki sang waktu yang sombong, terjerat
mimpi yang indah, lelah.
Ini
adalah ‘Setetes Rindu’ yang pernah kita torehkan dalam dinginnya malam,
“Kini aku sendiri, menjadi
sebongkah batu yang terkikis oleh titik-titik air yang jatuh dari dahan yang
ikut menjadi sedih lantaran sang mentari tak kunjung datang. Namun rinduku
takkan ikut mengering seperti hutan mati itu. Disini aku kan selalu setia
mendoakanmu, dimalam yang sunyi bersama rintik-rintik hujan. Untukmu, yang kini
singgah di hatiku walau hanya tinggal serpihan. Untukmu, kekasih yang
kurindukan.
Entah apa yang harus aku katakan
kasih, bayangmu selalu hadir dalam kibasan cahaya rembulan. Dalam udara
dinginnya malam, aroma Edelweis masih tersaji saat aku datang dan kau
membukakan pintu hatimu untukku. Senyummu memberi kedamaian hakiki yang
mengalir bersama sajak dan melodi binatang malam di pondok Saladah. Lelah
dipundakku sejenak menghilang. Dalam gelap kita berdua, sungguh saat itu aku
tidak pernah merasa khawatir tertatih mencari cahaya. Karena, seluruh terang
kini terpancar jelas dalam dirimu kasih.
Malam itu hanya ada kau dan aku
kasih. Sisanya kini adalah jarak yang membuat rinduku padamu beranak-pinak.
Besarnya cintaku padamu membuat sahara menjadi hamparan taman bunga. Sayangku
padamu menggubah melodi benci ini menjadi rindu tak terperi. Duhai kau yang
kini jauh disana, hadirlah sejenak bersama tetesan tintaku yang tertuang lesu
pada secarik kertas rindu. Penantianku tak akan pernah kering bersama sang pena
yang selalu basah dan tak kunjung kehabisan tinta untuk menuliskan kisah kita.
Dalam genggaman hujan malam ini
kusampaikan kerinduanku padamu. Mendongaklah ke atas kasih, dan tataplah langit
malam ini, pasti kau akan tahu sebanyak bulir-bulir kenangan yang berhamburan,
sebanyak itulah rinduku padamu yang kini terperangkap dalam relung seorang hamba
sahaya yang tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat menjadi seikhlas karang
yang diterpa ombak, namun tidak setegar dirimu.
Aku tahu, perpisahan ini bukan kita
yang mau. Namun, ku mohon hadirlah kembali sejenak. Bersama kita enyahkan lara,
berdamai bersama sang hari atas nama cinta yang pernah ada. Duduklah di
sampingku seperti hari itu, sambil menyimpul senyum manis dari wajah cantikmu.
Aku yakin suatu saat nanti kau akan
tahu betapa besarnya cintaku padamu. Seperti halnya roda yang berputar, dari
cinta menjadi rindu, dari temu menjadi semu, aku tahu cintamu kini abu-abu.
Entah kapan ia akan menjadi biru, tapi aku akan bersabar untuk tetap menunggu.”
30
Maret 2014, Gunung Papandayan 2565 Mdpl.
Sampai juga di hari ke enam, aku yang kini menjadi begitu
beku. Beku terbaring bersama kenangan, kenangan indah yang menjadi angan, angan yang kian datang perlahan, perlahan membelah segala kesunyian di tengah
malam yang kini menjadi sungkan. Sungkan untuk berkata-kata kepada-Nya lagi tentang dia
yang aku perjuangkan. Semoga Ia tidak pernah bosan mendengarkan.
25
Oktober 2014, di antara bisingnya kenangan.
20 - 20
0 comments:
Post a Comment