Hari keempat,
Awan berarak seperti pergerakan kolosal, jabat rapat melaju pelan menutup
langit. Angin tak cukup kuat untuk memisahkan, tapi ikut merayakan kesunyian
malam. Malam ini tak sabar rasanya ingin mencurahkan segala yang ada di batok
kepala. Sungguh efek ‘brain charging’
malam ini sungguh luar biasa. Memang benar, belajar adalah sebuah momen untuk
menyucikan diri. Semester yang begitu menantang, karena ibarat seorang pembalap
ini adalah putaran terakhir.
Bicara tentang pengantar ilmu Hypnotherapi yang ku pelajari malam ini,
seorang guru memastikan kepada kami untuk meniatkan sedini mungkin bahwa “apa
yang kau pelajari hari ini adalah untuk berbagi kepada sesama.” Dan pasien
pertama yang harus kau obati adalah bukan orang lain, tapi dirimu. Saat kamu
sudah bisa mengobati penyakit pada dirimu, bukan hal yang sulit untuk mengobati
orang lain. Teringat kalimat mutiara dari seorang AA Gym yang mengatakan, “Mulai dari yang terkecil, mulai dari diri
sendiri, mulai dari sekarang.”
Sejam sebelum materi yang dahsyat membakar semangat belajarku, seorang
sahabat berbicara banyak kepadaku tentang sebuah keyakinan. Dalam guraunya ia
menyelipkan sebuah cerita tentang meyakinkan calon istrinya yang kini masih
duduk dibangku kuliah semester awal dan ia baru kenal empat bulan. Satu yang
aku menjadi salut adalah ia yang dapat meyakinkan orang tua kekasihnya itu.
Haru biru membumbung tinggi, setinggi tingginya saat tahu mereka akan menikah
bulan desember tahun ini.
Setiap kata yang terlontar dari mulutnya sungguh menusuk. Aku yakin akan
apa yang aku jalani saat ini, begitupun ia. Tapi tidak dengan ia kepada orang
tuanya. Tuhan, masa-masa penantian ini memang penuh dengan godaan dan lika-liku
yang terkadang nalarku tak sanggup menangkapnya.
Seperti sore ini, mungkin ini adalah tentang frekuensi kami yang bertemu
pada satu titik yang bernama rindu. Melihat sosoknya yang sedang menunggu adzan
magrib sambil menuntaskan dahaga setelah seharian berpuasa di tukang es emperan
masjid, membuatku tertahan sejenak.
Ini tentang janji, dengan langkah berat aku tinggalkan dirinya tanpa
menegur walau jarak kami sangat dekat sore tadi. Ingin rasanya berkata, “Mbo ya… jangan minum es dulu… katanya belum
fit.” Tapi aku telan kalimat itu lamat-lamat. Aku pegang janji ini untuk
tidak menyapamu hingga sebulan ke depan.
Di sepertiga malam ini aku serayakan namamu, aku bisikan kepadaNya jika
engkaulah yang aku mau. Untukmu yang kini jauh di sana, tidakkah engkau mau
membantuku untuk menguatkan inginku. Tolong bantu aku merayuNya.
20 -20
0 comments:
Post a Comment