Saat
seorang pria datang padamu dengan langkah pasti. Perjuangkan ia dengan sungguh
atau tinggalkan ia dengan ikhlas.
Ah,
aku tidak ingat jelas redaksi kalimat itu. Pernyataan yang membuatku
bertanya-tanya, sungguh. Apa yang kau ceritakan padanya kasih? Hingga kalimat
itu terlontar lantang dari mulutnya, diikuti lirik matanya yang telak menghujam
padaku.
Bisakah
kau jelaskan semuanya kasih?
Beberapa
kali pandangan kita berpapasan, namun hingga senja menyelimuti, keberanian tak
jua muncul pada diriku walau hanya sekadar mengucap sapa. Aku semakin meyakini
kalimat ‘Berkunjunglah jarang-jarang, niscaya semakin bertambah kecintaanmu.’
Ini adalah rasa sama, rasa yang membawaku pada setahun yang lalu saat pertama
melihatmu dimomen yang sama seperti hari ini.
Hingga
akhirnya tiba waktuku untuk tampil menyampaikan celoteh di hadapan para peserta
pelatihan. Sejenak aku membagikan pandangan ke sekitar membaca tanda semesta. Kaki
yang terus bergoyang, dagu yang mulai tertopang, badan yang bergerak gusar,
isyarat yang aku tangkap pertanda bahwa mereka sesungguhnya sudah enggan
mendengarkan lagi. Keyakinanku menguat seiring seorang dari mereka yang berucap,
“Entah kenapa hari ini menjadi begitu lambat.”
“Bukan
diriku kalau tidak bisa merubah nasib buruk menjadi begitu menyenangkan.” Ucapku
mantap dalam hati.
Belajar
dari filosofi seorang samurai, “Jika genderang perang sudah berbunyi, pantang
bagi seorang samurai mundur walau selangkah.” Karena bagi mereka lebih
terhormat mati sebagai samurai, ketimbang malu karena menjadi seorang pengecut.
Terima
kasih ya Rabb, dengan kuasaMu akhirnya
aku berhasil membuat terbelalak puluhan pasang mata yang mulai kantuk, menghibur
puluhan jiwa yang mulai bosan, dan membuat simpul senyum dan tawa dari bibir
mereka terkembang. Mungkin yang tampak pada diriku saat itu adalah seorang
pembicara yang penuh percaya diri, sungguh itu hanya sebuah kamuflase kasih.
Aslinya adalah begitu canggungnya diriku. “Kamu
memang pintar memainkan emosi audiens, hanya dalam waktu singkat mereka bisa
begitu terpesona dengan apa yang aku tampilkan. Celoteh hangat dengan kemasan
komedi membuat kamu menjadi titik pusat perhatian di panggung sore itu. Walau
banyak pembicara di sampingmu, tapi kamulah artisnya.” Ucap seorang sahabat
padaku. Tapi tidak bagi diriku, sejatinya aku tidak bisa menahan emosiku saat
itu. Terlebih aku melihat sosok cantikmu ada di sana, duduk bersama menjadi
bagian mereka.
Ingin rasanya kembali bejalan beriringan denganmu, seperti istilah seorang sahabat sejati yang
mengatakan, “Sahabat sejatimu bukanlah ia
yang berjalan di depanmu, bukan juga ia yang selalu mendorong dari dari
belakangmu, tapi ia yang mau berjalan beriringan bersamamu.” Jadi usah kau
khawatir ada yang tertinggal, kecuali memang kau yang berusaha meninggalkan.
Bahagia
bercampur haru, entah ini karena ruang rindu yang terobati atau karena anugrah
Tuhan yang tak terperi atas rasa yang telah Ia beri. Pada dirimu yang aku
bangga menjadi bagian dari sepenggal kisah perjalanan hidupku. Aku yang selalu
merasa nyaman saat ada di sampingmu. Aku yang ingin dan terus bersamamu hingga Ia yang Maha Kasih membuat akhir dari kisah ini. Begitu juga kah denganmu kasih..?
Cemburu hinggap saat mengabadikan dua sosok ini senja kemarin.
0 comments:
Post a Comment