.quickedit{ display:none; } }
RSS

Melangkahlah bersamaku...!



Saat seorang pria datang padamu dengan langkah pasti. Perjuangkan ia dengan sungguh atau tinggalkan ia dengan ikhlas.

Ah, aku tidak ingat jelas redaksi kalimat itu. Pernyataan yang membuatku bertanya-tanya, sungguh. Apa yang kau ceritakan padanya kasih? Hingga kalimat itu terlontar lantang dari mulutnya, diikuti lirik matanya yang telak menghujam padaku. 

Bisakah kau jelaskan semuanya kasih?  

Beberapa kali pandangan kita berpapasan, namun hingga senja menyelimuti, keberanian tak jua muncul pada diriku walau hanya sekadar mengucap sapa. Aku semakin meyakini kalimat ‘Berkunjunglah jarang-jarang, niscaya semakin bertambah kecintaanmu.’ Ini adalah rasa sama, rasa yang membawaku pada setahun yang lalu saat pertama melihatmu dimomen yang sama seperti hari ini. 

Hingga akhirnya tiba waktuku untuk tampil menyampaikan celoteh di hadapan para peserta pelatihan. Sejenak aku membagikan pandangan ke sekitar membaca tanda semesta. Kaki yang terus bergoyang, dagu yang mulai tertopang, badan yang bergerak gusar, isyarat yang aku tangkap pertanda bahwa mereka sesungguhnya sudah enggan mendengarkan lagi. Keyakinanku menguat seiring seorang dari mereka yang berucap, “Entah kenapa hari ini menjadi begitu lambat.” 

“Bukan diriku kalau tidak bisa merubah nasib buruk menjadi begitu menyenangkan.” Ucapku mantap dalam hati. 

Belajar dari filosofi seorang samurai, “Jika genderang perang sudah berbunyi, pantang bagi seorang samurai mundur walau selangkah.” Karena bagi mereka lebih terhormat mati sebagai samurai, ketimbang malu karena menjadi seorang pengecut. 

Terima kasih ya Rabb, dengan kuasaMu akhirnya aku berhasil membuat terbelalak puluhan pasang mata yang mulai kantuk, menghibur puluhan jiwa yang mulai bosan, dan membuat simpul senyum dan tawa dari bibir mereka terkembang. Mungkin yang tampak pada diriku saat itu adalah seorang pembicara yang penuh percaya diri, sungguh itu hanya sebuah kamuflase kasih. Aslinya adalah begitu canggungnya diriku. “Kamu memang pintar memainkan emosi audiens, hanya dalam waktu singkat mereka bisa begitu terpesona dengan apa yang aku tampilkan. Celoteh hangat dengan kemasan komedi membuat kamu menjadi titik pusat perhatian di panggung sore itu. Walau banyak pembicara di sampingmu, tapi kamulah artisnya.” Ucap seorang sahabat padaku. Tapi tidak bagi diriku, sejatinya aku tidak bisa menahan emosiku saat itu. Terlebih aku melihat sosok cantikmu ada di sana, duduk bersama menjadi bagian mereka. 

Ingin rasanya kembali bejalan beriringan denganmu, seperti istilah seorang sahabat sejati yang mengatakan, “Sahabat sejatimu bukanlah ia yang berjalan di depanmu, bukan juga ia yang selalu mendorong dari dari belakangmu, tapi ia yang mau berjalan beriringan bersamamu.” Jadi usah kau khawatir ada yang tertinggal, kecuali memang kau yang berusaha meninggalkan. 

Bahagia bercampur haru, entah ini karena ruang rindu yang terobati atau karena anugrah Tuhan yang tak terperi atas rasa yang telah Ia beri. Pada dirimu yang aku bangga menjadi bagian dari sepenggal kisah perjalanan hidupku. Aku yang selalu merasa nyaman saat ada di sampingmu. Aku yang ingin dan terus bersamamu hingga Ia yang Maha Kasih membuat akhir dari kisah ini. Begitu juga kah denganmu kasih..?


Cemburu hinggap saat mengabadikan dua sosok ini senja kemarin.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment