.quickedit{ display:none; } }
RSS

Perjalanan Ini Tentang Kita (Catatan Pendakian Gunung Papandayan 2665 Mdpl) Jilid II



“Tak ada varian warna ketika laut tanpa adanya gelombang. Begitu juga hidup ini, tak ada rasa yang beragam ketika kita menjalani tanpa adanya tantangan”.

Setiap kita diciptakan berpasangan. Ini adalah dalil sakti Arifin yang hingga kini belum mempunyai pasangan. Tapi aku tidak mau berdebat dengan Arifin yang kini menjadi pimpinan dari komunitas panti jomblo cabang Pondok Betung, karena sesungguhnya teorinya sudah terbantahkan. Sesungguhnya segala sesuatu itu berpasang-pasangan, kecuali bakiak di musholla. haha. 
Bicara tentang pasangan, akhirnya pagi menepati janjinya kepada malam untuk hadir, mentari juga datang tepat waktu dan tak ingkar kepada bulan untuk hadir pagi ini.
“Ayo kak, nanti kita ketinggalan sunrise...” Belda mengajakku  dari tempat kami mendirikan tenda dan keluar dari hutan menuju tebing untuk melihat matahari terbit.
Aku dan Belda berlari bersama pagi itu, dengan lincahnya ia berlari melewati tanah yang mulai licin akibat hujan kemarin sore. Aku tertinggal jauh, ia berlari dengan lenggang membaca kamera kesayangannya, sedang aku berlari sambil membawa lima botol kosong yang terus kuntal-kantil saat aku berlari.
 “Belda…Tunggu…” Teriakku. Namun Belda terus berlari, aku terdiam sejenak mengambil napas. 
“Hamko hamishe curallo... Dil se kahitum sufallo...”
Aku bernyanyi ditaman bunga Edelweiss, Belda menoleh dari kejauhan lalu tersenyum tersipu malu seperti wanita yang sedang dipingit. Kemudian semua orang yang ada disekeliling kami ikut menari dan tidak tahu kapan latihannya. Pokoknya, mirip adegan Shahrukhan dalam film Mohabbatain. Hahaha, benar-benar khayalan tingkat kecamatan. Hihi
Sungguh indah pagi ini, melihat sang raja hari terbit diantara ngarai-ngarai yang menjadi keemasan karena sinarnya. Siapa lagi yang bisa membuatnya menjadi begitu indah untuk dipandang, menenangkan hati dan tak membuat setiap yang melihatnya berdecak kagum, kalau bukan Sang arsitek alam semesta. 
 Sunrise and Sunman..he
Setelah puas melihat sunrise, aku dan Belda segera menuju mata air untuk mengambil air. “Ya iya lah, mas… ke mata air ya ngambil air, masa ngambil komputer.” Ada bisikan mistis ditelingaku. Hihi. Rupanya memang persediaan air kami sudah menipis. Menurut sebuah teori manusia dapat hidup tanpa makanan selama 20 hari sampai sebulan, tetapi kebanyakan manusia tidak bisa hidup tanpa minum selama tiga sampai empat hari. 
Saat tiba di mata air, disana ternyata sudah ada Hafizhah dan bung Herman. “Jangan-jangan tadi suara bung Herman…? Entahlah..” Ucapku dalam hati. Aku sungguh tidak percaya kalau bung Herman akan gosok gigi pagi ini, karena bisa luntur ilmunya. Namun aku melihatnya malah seperti adegan Jaka Tarub yang mengintip bidadari mandi. Untung Hafizah tidak bawa selendang pagi ini, karena bisa jadi ia akan dijadikan isteri nanti. Hah, aku jadi tenang. Belda memanggilku dan membuyarkan khayalan tingkat propinsiku, agar kami segera kembali ke tenda. Karena, Salby sudah menunggu air yang kami ambil dan rupanya sebelum kami berangkat melihat sunrise Salby sudah memasak bubuk kacang hijau untuk kami sarapan.
Untuk orang Indonesia kebanyakan, yang namanya makan ya, harus nasi. Mau makan lontong sayur atau ketupat lima piring kalau belum makan nasi, namanya belum makan. Apalagi cuma roti, nggak sampai ke perut alias cemilan doang itu mah…!
“Harumnya....!” Ucap Bang Opick dari dalam tenda.
Rupanya apa yang dibayangkan tidak seperti kenyataan. Memang bagitu dalam hidup, kadang apa yang kita inginkan tidak selalu sama dengan apa yang kita dapatkan. Namun, kita diajarkan untuk selalu mensyukuri apa yang ada. Karena Tuhan tahu cara terbaik yang Ia berikan kepada hambaNya. Apa yang menurut kita baik, belum tentu menurutNya.
Saat keluar dari tenda, bang Opick kaget melihat Salby yang menjadi muram dan lesu. Semua lantaran kacang hijau yang dimasak Salby gagal menjadi bubur kacang hijau. Cuma kerak gula merah yang menjadi lengket di nasting dan kacang hijau yang tetap keras.
“Gagal sarapan kita bang...” Ucap Salby sedih.
Aku paling tidak tega melihat wanita cantik bersedih, selalu saja jiwa pahlawanku muncul seketika. “Tenang Salby abang datang” Ucapku dalam hati. Aku segera menggantikan ia memasak. Hihi.  Dengan bekal bakat memasak dari nenekku yang dahulu juara master cheef tingkat kelurahan, aku berhasil memasak beras yang tersisa menjadi nasi, diikuti dengan Salby yang memasak telur dadar.
“Kalian makan aja duluan, aku tidak apa-apa lapar, yang penting kalian semua kenyang.” Cie... So sweet... Mata Hafizhah langsung berkaca-kaca, gelembung-gelembung love muncul dari kepala Salby, jantung Belda langsung berdegup kencang dengan irama tak beraturan, dan air liur menetes dari sela-sela bibirnya Tio. Haha..
Sangar dan siap menerkam



Teori Archimedes terbantahkan hari ini, dalam posisi perut keroncongan dan cacing sudah demo minta makan kami menggunakan teori mulut seng. Siapa yang tahan panas mulutnya, dialah yang kenyang. Dan juaranya pagi itu adalah si sosok mistis, bung Herman. Selain punya jurus mulut seng yang tahan panas dia juga punya jurus mulut vacuum cleaner hingga semua habis tak tersisa. Ahhai…
Pelajaran kelima dari pendakian ini adalah;
Hidup bukanlah untuk menangis. Namun, berawal dari tangislah kita memulai kehidupan ini.
 Dari tangislah kita akan lebih mengenal apa itu kehidupan. Dari tangislah kita terdidik lebih mengerti tentang perjalanan ini.
Dan dari tangislah kita memahami apa itu kebahagiaan.
***
Matahari mulai menampakkan batang hidungnya tanpa malu, kami bergegas membereskan tenda untuk segera melanjutkan perjalanan kami menuju puncak.
“Kalau kalian punya mimpi, jangan taro 5 cm didepan kening. Tapi, disini nih…” Marwan menirukan gaya Jafran dalam film 5 cm, sambil memasukkan jari telunjuknya kedalam hidung.
“Stress…! makanya Wan… kalau tidur itu pakai bantal, otak lu geser tuh...” Ledekku.
Setelah semua rapi, inilah saat-saat yang paling aku sukai setiap kali melakukan pendakian, yaitu ritual para pendaki. Kami membuat lingkaran sempurna sambil memejamkan mata, lau satu persatu dari kami menyampaikan doa-doa dan impian. Inilah kami, manusia-manusia dengan mimpi-mimpinya. Yang terpenting adalah seseorang diihat bukan dari seberapa besar mimpinya, tapi seberapa besar ia untuk mimpinya tersebut.
Pelajaran keenam dari pendakian ini adalah;
“Yang terpenting adalah seseorang dilihat bukan dari seberapa besar mimpinya, tapi seberapa besar ia untuk mimpi tersebut.”
Langkah demi langkah kami meninggalkan pondok Saladah yang tiba-tiba tampak begitu indah dari kejauhan. Sungguh surga yang tersembunyi. Tanah kini tidak lagi sekeras saat pendakian awal kami kemarin, kini ia menjadi begitu lunak seperti adonan cilok.
“Ampun bos…” Sendal nenek yang Tio pakai meronta-ronta, minta ampun. Akhirnya Tio mengganti sendalnya karena bisa putus jika dipaksa.
Lima belas menit perjalanan dari Pondok Saladah, batang-batang kayu yang menghitam seperti bekas pembakaran masal menyambut kami. Rupanya kami tiba ditempat yang paling mahsyur di gunung Papandayan. Kami tiba di hutan mati kawan. Lagi dan lagi Tuhan menunjukan kebesarannya, mulut kami dibuatnya bungkam seribu bahasa menatap pepohonan hitam yang masih tagak berdiri setelah ratusan tahun terkena erupsi dari gunung Papandayan. Saat kabut tipis mulai menyelimuti perjalanan kami di hutan mati, suasana menjadi begitu berbeda, benar-benar seperti berada di alam lain. 
 
                                                             Hutan mati

Danau belerang di hutan mati
Tidak seperti pendaki lain, kami benar-benar berbeda hari ini. Beberapa pendaki yang berpapasan dan kami temui setelah dari Tegal Lega dan puncak tidak ada satupun yang membawa carrier. Berdasarkan informasi yang kami dapat, ada jalan pintas melalui hutan mati setelah turun dari puncak dan itu melalui hutan mati, tidak perlu kembali ke pondok Saladah. Antara ragu dan bimbang untuk melanjutkan ke Tegal Lega dan puncak mengingat beban yang kami bawa rasanya tidak akan bisa sampai.
“Sudah, sono pada naik… Tasnya taruh disini aja, biar gue yang jaga.” Ucap bang Opick bijaksana, diikuti wajah bengong lebih tepatnya bloon dari kami yang seakan tidak percaya.
Setiap super hero punya kostum tersidiri, Batman dengan hitam-hitam ala kelelawar, Spiderman dengan baju ketat merah biru berjaring laba-laba, Superman dengan sayap merah dan underwear di luar, dan kami melahirkan pahlawan hari ini namanya Opick Man. Pahlawan kami yang satu ini berkostum kaos oblong dengan peci haji dan slayer terlilit dileher, pokoknya sebelas dua belas dengan ustad Maulana yang muncul setiap subuh. Jemaaah…Oy…Jemaah..! Ha.
                    Jema'aaaah... Alhamdulillah... :)    
      Akhirnya dengan berat hati, kami meninggalkan superhero berkopiah kami hari itu. Setelah sekitar dua puluh menit kami mendaki medan yang cukup terjal, akhirnya kami menapaki kaki di padang Edelweiss Tegal Lega.
 “Hari ini kita berada dibumi, tapi dekat sekali dengan langit, dekat dengan Tuhan.” 
 Tegal Alun In Love..hihihi
 Setelah puas mengawetkan momen-momen indah kami di padang Edelweiss Tegal Lega, rupanya gerombolan awan hitam menyapa kami dari puncak. Mengingat hari sudah semakin siang dan kami masih harus kembali sebelum gelap, akhirnya kami urungkan niat mencapai puncak Papandayan dan berbalik arah untuk kembali menjumpai pahlawan berkopiah yang dengan sabar menunggu kami.
Namun ada satu keindahan memancar dari jutaan bunga Edelweiss yang ku pandang siang itu di Tegal Lega. Sesuai dengan namanya Hafizhah Az Zahra artinya bunga yang terjaga, Edelweiss adalah bunga yang terjaga dan tidak boleh ada yang memetik dan merusaknya. Aku berjanji Edelweissku yang satu ini juga adalah bunga kan selalu ku jaga selalu, sepanjang hidupku. Cie…
Ya Thaiba...Ya..Thaiba... *Gaya Sulis.  Subhanallah... Fiza... Cihuuy....
“Malu bertanya sesat di jalan, besar kemaluan tidak bisa jalan. Maksudnya besar malunya untuk bertanya, akhirnya diam saja tidak jalan-jalan.” Begitu kata nenek. Setelah bertanya ke beberapa pendaki akhirnya kami menemukan jalan pintas menuju pulang melalui hutan  mati. Tebing berbatu dan jalan setapak yang harus kami lalui dengan hati-hati.
“Gusraaak….”
Aku menoleh kebelakang dan melihat Hafizhah yang meringis kesakitan. Sayang tidak ada siaran ulangnya. Kalau bisa diulang aku akan melompat seperti saat Spideman menyelamatkan Mary Jane yang jatuh dari gedung. Akhirnya kami bertatapan dan…
“Mas..mas… cepetan jalannya mas, ngantri nih...” Ucap seorang bapak-bapak berbaju pink membuyarkan khayalan tingkat propinsiku.
 
 Momen ini dipersembahkan oleh teh pucuk...Ciee...
Tapi, Tuhan memang begitu adil. Aku selalu yakin bahwa yang terjadi dimuka bumi tidak ada yang kebetulan. Semua Ia sudah rencanakan. Bahkan daun yang jatuh dari ranting pun adalah kehendaknya.
Biarkan dia menderita asal aku bahagia. Ini adalah model pacaran anak alay yang cuma memanfaatkan kekasihnya sebagai negeri jajahannya, diekpoitasi kekayaannya, ruang geraknya dan tentunya ngga sesuai dengan pembukaan UUD 45, “Penjajahan diatas muka bumi harus dihapuskan karena bertentangan dengan prikeadilan dan prikemanusiaan". Kok jadi lari ke pelajaran Kewarganegaraan? Tenang Hafizhah abang tidak seperti anak alay diatas. He
Sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada pendakian ini, aku berusaha sebisa mungkin memastikan semua pulang dalam keadaan baik-baik saja. Sementara teman-teman yang lain sudah lebih dahulu, aku dan Hafizhah berjalan perlahan menyusuri bebatuan yang menjadi begitu licin, beda pada saat kami mendaki kemarin. Turun ternyata membutuhkan tenaga dan konsentrasi dua kali lipat dari pada saat mendaki.
“Kasian batunya di coret-coret ya kak…” Ucap Hafizhah.
Kalimat pertama yang keluar darinya setelah lima belas menit berjalan beriringan.
“Ini adalah ekspresi cinta yang salah Za…, seperti orang yang mencitai burung, kenapa ia diletakan didalam sangkar. Cinta itu tidak mengekang, biarkan ia menjadi dirinya.” Jawabku.
Benar yang dikatakan Belda dalam catatannya, 
Vandalisme yang seringkali ditemui adalah pengabadian berupa tulisan, gambar, ukiran, dan corat-coret pada batu, pohon, dan fasilitas di kawasan wisata. Padahal ada etika tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh seorang pengunjung, jika berat mengatakannya sebagai pecinta alam.
 
 Yakni: " Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar. Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu!" 
Rupanya tiga hal di atas hanya dijadikan pameo untuk mereka yang menjuluki diri sebagai pecinta alam namun menuliskan namanya di atas batu-batu Papandayan. Orang-orang yang berkoar-koar memamerkan edelweiss yang dipetik dari Tegal Alun pun tidak bedanya dengan pecinta alam imitasi. Apalagi tak membawa sampah sukar daur ulang bekas mereka ke bawah atau pun tak membakarnya secara aman. Malah membuangnya di sela-sela semak. Apakah masih pantas disebut sebagai pecinta alam?
 Setelah itu kami kembali terdiam, tidak sepatah katapun terucap, hanya hati yang terus berdegup. Berdegup begitu kencang tak beaturan. Mulutku kembali terkunci rapat.  Hanya hati yang terus berucap.

Pukul 15:45 WIB Pos Satu_Camp David
Akhirnya tampak juga warung kopi di camp David. Pos pertama pendakian. Setelah sekian lama mengantri hingga magrib tiba. Baru kami bisa turun dengan supir gila dan kami siap mengulang memacu adrenalin menuruni tebing dengan mobil bak menuju Cisurupan dan melanjutkan ke terminal Guntur. Sampai kapan jalur akses menuju pos satu akan seperti ini. Kemana dana relokasi yang diberikan untuk konservasi dan fasilitas wisata termasuk perbaikan jalan akses utama tidak semudah yang dibayangkan? 
Akhirnya  kami pulang dengan perasaan lega menuju Jakarta, lantunan lagu oplosan melantun bersama mata-mata kami yang mulai meredup lelah, bersama itu juga aku ingin sampaikan kepada sahabatku tercinta. Senang bisa berpetualang bersama kalian. Untuk Belda, Liah, Salby, Hafizhah, Tio, Herman, Arifin, Opick, dan Saipul Marwan, tidak ada kata bisa ku ungkap selain rasa bangga memiliki sahabat seperti kalian. I Love You All… 
 
Say... Cihuyyyy.... :)

“Hanya Kita”
Diamnya kita saat ini, tak bicaranya kita saat ini semua itu bukan fatamorgana. Karena sejatinya, itulah kita.
Hanya kita yang tahu, apa yang kita rasakan dalam hati kecil ini. Hanya kita yang mengerti apa yang sesungguhnya menjadi pergolakan dalam hati kita. Bukanku takut untuk mengatakannya. Tapi, semua terbentur pada norma, pada batasan, pada ketentuan yang sesungguhnya manusia itu sendiri yang menciptakannya. Satu harapan yang aku punya kini Sang Maha Cinta yang memiliki titah atas segala norma yang ada, atas segala batas yang manusia buat
Saat ini, adanya kesamaan dalam bathin kita bukanlah kita yang minta. Tumbuh suburnya cinta yang kita rasa itu juga bukan kita yang cipta. Ketertarikan kita satu sama lain itu juga bukan sesuatu yang semu. Ini benar nyata adanya. Mungkin itu salah satu sebab mengapa kita bertemu dan mungkin tidak dapat berpisah. Karena, kita adalah sama.
Tidak sepatah katapun yang terucap sebagai pernyataan sebuah afirmasi. Juga, tidak ada setangkai bunga sebagai simbolisasi. Kita sama-sama hening. Berbicara dalam senyap yang tak terwakili kata, dengan bahasa yang mengandung jutaan makna, dan dengan makna yang aku yakin tak tersimbolisasikan dengan apapun. Namun kita saling mendengar, saling mengerti dan saling memahami. Bahwa…rasa itu benar ada diantara kita.
Sejatiku adalah laki-laki yang sedang berusaha memperbaiki diri dan sejatimu adalah wanita yang baik dan setia. Disini tak pernah sedikitpun kita saling menggoda. Tak pernah kukatakan matamu indah, senyummu anggun, wajahmu cantik rupawan. Aku mengakui itu dengan sedikit penekanan pada suaraku. Tapi, aku tahu kata-kata itu cuma milik buaya, bukan manusia. Dengan harapan kata-kata itu dapat menyihirmu. Semua yang ada pada dirimu, keindahanmu, kecantikanmu memang benar adanya. Bahkan tak perlu lagi aku mengucapkannya, dan akupun tak ingin sedikitpun kau mendengarnya dari mulutku. Tak akan kubanjiri pendengaranmu dengan kata-kata manis dariku agar kian merah ranum pipimu. Biarkan saja suara itu terbawa bersama angin yang berhembus perlahan. 

                    30 April 2014,Gunung Papandayan 2665 Mdpl









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment