“Tak ada varian warna ketika laut tanpa adanya gelombang. Begitu
juga hidup ini, tak ada rasa yang beragam ketika kita menjalani tanpa adanya
tantangan”.
Setiap
kita diciptakan berpasangan. Ini adalah dalil sakti Arifin yang hingga kini
belum mempunyai pasangan. Tapi aku tidak mau berdebat dengan Arifin yang kini menjadi
pimpinan dari komunitas panti jomblo cabang Pondok Betung, karena sesungguhnya
teorinya sudah terbantahkan. Sesungguhnya segala sesuatu itu berpasang-pasangan,
kecuali bakiak di musholla. haha.
Bicara tentang pasangan, akhirnya pagi menepati janjinya kepada malam untuk hadir, mentari juga datang tepat waktu dan tak ingkar kepada bulan untuk hadir pagi ini.
Bicara tentang pasangan, akhirnya pagi menepati janjinya kepada malam untuk hadir, mentari juga datang tepat waktu dan tak ingkar kepada bulan untuk hadir pagi ini.
“Ayo
kak, nanti kita ketinggalan sunrise...” Belda mengajakku dari tempat kami mendirikan tenda dan keluar dari
hutan menuju tebing untuk melihat matahari terbit.
Aku
dan Belda berlari bersama pagi itu, dengan lincahnya ia berlari melewati tanah
yang mulai licin akibat hujan kemarin sore. Aku tertinggal jauh, ia berlari
dengan lenggang membaca kamera kesayangannya, sedang aku berlari sambil membawa
lima botol kosong yang terus kuntal-kantil
saat aku berlari.
“Belda…Tunggu…” Teriakku. Namun Belda terus berlari, aku
terdiam sejenak mengambil napas.
“Hamko
hamishe curallo... Dil se kahitum sufallo...”
Aku
bernyanyi ditaman bunga Edelweiss, Belda menoleh dari kejauhan lalu tersenyum
tersipu malu seperti wanita yang sedang dipingit. Kemudian semua orang yang ada
disekeliling kami ikut menari dan tidak tahu kapan latihannya. Pokoknya, mirip
adegan Shahrukhan dalam film Mohabbatain. Hahaha, benar-benar khayalan tingkat
kecamatan. Hihi
Sungguh
indah pagi ini, melihat sang raja hari terbit diantara ngarai-ngarai yang
menjadi keemasan karena sinarnya. Siapa lagi yang bisa membuatnya menjadi
begitu indah untuk dipandang, menenangkan hati dan tak membuat setiap yang
melihatnya berdecak kagum, kalau bukan Sang arsitek alam semesta.
Sunrise and Sunman..he
Setelah puas melihat sunrise, aku dan Belda segera menuju mata air untuk mengambil air.
“Ya iya lah, mas… ke mata air ya ngambil air, masa ngambil komputer.” Ada
bisikan mistis ditelingaku. Hihi. Rupanya memang persediaan air kami sudah
menipis. Menurut sebuah teori manusia dapat hidup tanpa makanan selama 20 hari
sampai sebulan, tetapi kebanyakan manusia tidak bisa hidup tanpa minum selama
tiga sampai empat hari. Saat tiba di mata air, disana ternyata sudah ada Hafizhah dan bung Herman. “Jangan-jangan tadi suara bung Herman…? Entahlah..” Ucapku dalam hati. Aku sungguh tidak percaya kalau bung Herman akan gosok gigi pagi ini, karena bisa luntur ilmunya. Namun aku melihatnya malah seperti adegan Jaka Tarub yang mengintip bidadari mandi. Untung Hafizah tidak bawa selendang pagi ini, karena bisa jadi ia akan dijadikan isteri nanti. Hah, aku jadi tenang. Belda memanggilku dan membuyarkan khayalan tingkat propinsiku, agar kami segera kembali ke tenda. Karena, Salby sudah menunggu air yang kami ambil dan rupanya sebelum kami berangkat melihat sunrise Salby sudah memasak bubuk kacang hijau untuk kami sarapan.
Untuk orang Indonesia kebanyakan, yang
namanya makan ya, harus nasi. Mau makan lontong sayur atau ketupat lima piring
kalau belum makan nasi, namanya belum makan. Apalagi cuma roti, nggak sampai ke perut alias cemilan
doang itu mah…!
“Harumnya....!”
Ucap Bang Opick dari dalam tenda.
Rupanya apa
yang dibayangkan tidak seperti kenyataan. Memang bagitu dalam hidup, kadang apa
yang kita inginkan tidak selalu sama dengan apa yang kita dapatkan. Namun, kita
diajarkan untuk selalu mensyukuri apa yang ada. Karena Tuhan tahu cara terbaik
yang Ia berikan kepada hambaNya. Apa yang menurut kita baik, belum tentu
menurutNya.
Saat keluar
dari tenda, bang Opick kaget melihat Salby yang menjadi muram dan lesu. Semua
lantaran kacang hijau yang dimasak Salby gagal menjadi bubur kacang hijau. Cuma
kerak gula merah yang menjadi lengket di nasting dan kacang hijau yang tetap
keras.
“Gagal
sarapan kita bang...” Ucap Salby sedih.
Aku paling
tidak tega melihat wanita cantik bersedih, selalu saja jiwa pahlawanku muncul seketika.
“Tenang Salby abang datang” Ucapku dalam hati. Aku segera menggantikan ia
memasak. Hihi. Dengan bekal bakat memasak
dari nenekku yang dahulu juara master
cheef tingkat kelurahan, aku berhasil memasak beras yang tersisa menjadi
nasi, diikuti dengan Salby yang memasak telur dadar.
“Kalian makan
aja duluan, aku tidak apa-apa lapar, yang penting kalian semua kenyang.” Cie...
So sweet... Mata Hafizhah langsung berkaca-kaca, gelembung-gelembung love
muncul dari kepala Salby, jantung Belda langsung berdegup kencang dengan irama
tak beraturan, dan air liur menetes dari sela-sela bibirnya Tio. Haha..
Sangar dan siap menerkam
Teori
Archimedes terbantahkan hari ini, dalam posisi perut keroncongan dan cacing
sudah demo minta makan kami menggunakan teori mulut seng. Siapa yang tahan
panas mulutnya, dialah yang kenyang. Dan juaranya pagi itu adalah si sosok
mistis, bung Herman. Selain punya jurus mulut seng yang tahan panas dia juga punya jurus mulut vacuum cleaner hingga semua habis tak tersisa. Ahhai…
Pelajaran kelima dari pendakian ini adalah;
Hidup bukanlah untuk menangis. Namun, berawal dari
tangislah kita memulai kehidupan ini.
Dari tangislah kita akan lebih mengenal apa
itu kehidupan. Dari tangislah kita terdidik lebih mengerti tentang perjalanan
ini.
Dan dari tangislah kita memahami
apa itu kebahagiaan.
***
Matahari
mulai menampakkan batang hidungnya tanpa malu, kami bergegas membereskan tenda
untuk segera melanjutkan perjalanan kami menuju puncak.
“Kalau kalian
punya mimpi, jangan taro 5 cm didepan kening. Tapi, disini nih…” Marwan
menirukan gaya Jafran dalam film 5 cm, sambil memasukkan jari telunjuknya
kedalam hidung.
“Stress…! makanya
Wan… kalau tidur itu pakai bantal, otak lu geser tuh...” Ledekku.
Setelah semua
rapi, inilah saat-saat yang paling aku sukai setiap kali melakukan pendakian,
yaitu ritual para pendaki. Kami membuat lingkaran sempurna sambil memejamkan
mata, lau satu persatu dari kami menyampaikan doa-doa dan impian. Inilah kami,
manusia-manusia dengan mimpi-mimpinya. Yang terpenting adalah seseorang diihat
bukan dari seberapa besar mimpinya, tapi seberapa besar ia untuk mimpinya tersebut.
Pelajaran keenam dari pendakian ini adalah;
“Yang terpenting adalah seseorang dilihat bukan dari seberapa besar mimpinya, tapi seberapa besar ia untuk mimpi tersebut.”
“Yang terpenting adalah seseorang dilihat bukan dari seberapa besar mimpinya, tapi seberapa besar ia untuk mimpi tersebut.”
Langkah demi
langkah kami meninggalkan pondok Saladah yang tiba-tiba tampak begitu indah
dari kejauhan. Sungguh surga yang tersembunyi. Tanah kini tidak lagi sekeras
saat pendakian awal kami kemarin, kini ia menjadi begitu lunak seperti adonan
cilok.
“Ampun bos…”
Sendal nenek yang Tio pakai meronta-ronta, minta ampun. Akhirnya Tio mengganti
sendalnya karena bisa putus jika dipaksa.
Lima belas
menit perjalanan dari Pondok Saladah, batang-batang kayu yang menghitam seperti
bekas pembakaran masal menyambut kami. Rupanya kami tiba ditempat yang paling
mahsyur di gunung Papandayan. Kami tiba di hutan mati kawan. Lagi dan lagi
Tuhan menunjukan kebesarannya, mulut kami dibuatnya bungkam seribu bahasa
menatap pepohonan hitam yang masih tagak berdiri setelah ratusan tahun terkena
erupsi dari gunung Papandayan. Saat kabut tipis mulai menyelimuti perjalanan
kami di hutan mati, suasana menjadi begitu berbeda, benar-benar seperti berada
di alam lain.
Hutan mati
Danau belerang di hutan mati
Tidak seperti
pendaki lain, kami benar-benar berbeda hari ini. Beberapa pendaki yang
berpapasan dan kami temui setelah dari Tegal Lega dan puncak tidak ada satupun
yang membawa carrier. Berdasarkan
informasi yang kami dapat, ada jalan pintas melalui hutan mati setelah turun
dari puncak dan itu melalui hutan mati, tidak perlu kembali ke pondok Saladah. Antara
ragu dan bimbang untuk melanjutkan ke Tegal Lega dan puncak mengingat beban
yang kami bawa rasanya tidak akan bisa sampai.
“Sudah, sono
pada naik… Tasnya taruh disini aja, biar gue yang jaga.” Ucap bang Opick
bijaksana, diikuti wajah bengong lebih tepatnya bloon dari kami yang seakan
tidak percaya.
Setiap super
hero punya kostum tersidiri, Batman dengan hitam-hitam ala kelelawar, Spiderman
dengan baju ketat merah biru berjaring laba-laba, Superman dengan sayap merah
dan underwear di luar, dan kami
melahirkan pahlawan hari ini namanya Opick Man. Pahlawan kami yang satu ini
berkostum kaos oblong dengan peci haji dan slayer terlilit dileher, pokoknya
sebelas dua belas dengan ustad Maulana yang muncul setiap subuh.
Jemaaah…Oy…Jemaah..! Ha.
Jema'aaaah... Alhamdulillah... :)
Akhirnya dengan berat hati, kami meninggalkan superhero berkopiah
kami hari itu. Setelah sekitar dua puluh menit kami mendaki medan yang cukup
terjal, akhirnya kami menapaki kaki di padang Edelweiss Tegal Lega.
“Hari ini kita berada dibumi, tapi dekat
sekali dengan langit, dekat dengan Tuhan.”
Tegal Alun In Love..hihihi
Setelah puas
mengawetkan momen-momen indah kami di padang Edelweiss Tegal Lega, rupanya
gerombolan awan hitam menyapa kami dari puncak. Mengingat hari sudah semakin
siang dan kami masih harus kembali sebelum gelap, akhirnya kami urungkan niat
mencapai puncak Papandayan dan berbalik arah untuk kembali menjumpai pahlawan
berkopiah yang dengan sabar menunggu kami.
Namun ada satu keindahan memancar dari jutaan bunga Edelweiss yang ku pandang siang itu di Tegal Lega. Sesuai dengan namanya Hafizhah Az Zahra artinya bunga yang terjaga, Edelweiss adalah bunga yang terjaga dan tidak boleh ada yang memetik dan merusaknya. Aku berjanji Edelweissku yang satu ini juga adalah bunga kan selalu ku jaga selalu, sepanjang hidupku. Cie…
Namun ada satu keindahan memancar dari jutaan bunga Edelweiss yang ku pandang siang itu di Tegal Lega. Sesuai dengan namanya Hafizhah Az Zahra artinya bunga yang terjaga, Edelweiss adalah bunga yang terjaga dan tidak boleh ada yang memetik dan merusaknya. Aku berjanji Edelweissku yang satu ini juga adalah bunga kan selalu ku jaga selalu, sepanjang hidupku. Cie…
“Malu
bertanya sesat di jalan, besar kemaluan tidak bisa jalan. Maksudnya besar
malunya untuk bertanya, akhirnya diam saja tidak jalan-jalan.” Begitu kata
nenek. Setelah bertanya ke beberapa pendaki akhirnya kami menemukan jalan
pintas menuju pulang melalui hutan mati.
Tebing berbatu dan jalan setapak yang harus kami lalui dengan hati-hati.
“Gusraaak….”
Aku menoleh
kebelakang dan melihat Hafizhah yang meringis kesakitan. Sayang tidak ada
siaran ulangnya. Kalau bisa diulang aku akan melompat seperti saat Spideman
menyelamatkan Mary Jane yang jatuh dari gedung. Akhirnya kami bertatapan dan…
“Mas..mas…
cepetan jalannya mas, ngantri nih...” Ucap seorang bapak-bapak berbaju pink
membuyarkan khayalan tingkat propinsiku.
Momen ini dipersembahkan oleh teh pucuk...Ciee...
Tapi, Tuhan
memang begitu adil. Aku selalu yakin bahwa yang terjadi dimuka bumi tidak ada
yang kebetulan. Semua Ia sudah rencanakan. Bahkan daun yang jatuh dari ranting
pun adalah kehendaknya.
Biarkan dia menderita asal aku
bahagia. Ini adalah model pacaran anak alay yang cuma memanfaatkan kekasihnya
sebagai negeri jajahannya, diekpoitasi kekayaannya, ruang geraknya dan tentunya
ngga sesuai dengan pembukaan UUD 45, “Penjajahan diatas muka bumi harus
dihapuskan karena bertentangan dengan prikeadilan dan prikemanusiaan".
Kok jadi lari ke pelajaran Kewarganegaraan? Tenang Hafizhah abang tidak seperti
anak alay diatas. He
Sebagai orang yang paling
bertanggung jawab pada pendakian ini, aku berusaha sebisa mungkin memastikan
semua pulang dalam keadaan baik-baik saja. Sementara teman-teman yang lain
sudah lebih dahulu, aku dan Hafizhah berjalan perlahan menyusuri bebatuan yang
menjadi begitu licin, beda pada saat kami mendaki kemarin. Turun ternyata membutuhkan
tenaga dan konsentrasi dua kali lipat dari pada saat mendaki.
“Kasian batunya di coret-coret ya
kak…” Ucap Hafizhah.
Kalimat pertama yang keluar
darinya setelah lima belas menit berjalan beriringan.
“Ini adalah ekspresi cinta yang
salah Za…, seperti orang yang mencitai burung, kenapa ia diletakan didalam
sangkar. Cinta itu tidak mengekang, biarkan ia menjadi dirinya.” Jawabku.
Benar yang dikatakan Belda dalam catatannya,
Vandalisme
yang seringkali ditemui adalah pengabadian berupa tulisan, gambar, ukiran, dan
corat-coret pada batu, pohon, dan fasilitas di kawasan wisata. Padahal ada
etika tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh seorang pengunjung, jika berat
mengatakannya sebagai pecinta alam.
Yakni: " Jangan mengambil sesuatu
kecuali gambar. Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Jangan membunuh
sesuatu kecuali waktu!"
Rupanya
tiga hal di atas hanya dijadikan pameo untuk mereka yang menjuluki diri sebagai
pecinta alam namun menuliskan namanya di atas batu-batu Papandayan. Orang-orang
yang berkoar-koar memamerkan edelweiss yang dipetik dari Tegal Alun pun tidak
bedanya dengan pecinta alam imitasi. Apalagi tak membawa sampah sukar daur
ulang bekas mereka ke bawah atau pun tak membakarnya secara aman. Malah
membuangnya di sela-sela semak. Apakah masih pantas disebut sebagai pecinta
alam?
Setelah itu kami kembali terdiam,
tidak sepatah katapun terucap, hanya hati yang terus berdegup. Berdegup begitu
kencang tak beaturan. Mulutku kembali terkunci rapat. Hanya hati yang terus berucap.
Pukul 15:45 WIB Pos Satu_Camp David
Akhirnya tampak juga warung kopi di camp David. Pos pertama pendakian. Setelah sekian lama mengantri hingga magrib tiba. Baru kami bisa turun dengan supir gila dan kami siap mengulang memacu adrenalin menuruni tebing dengan mobil bak menuju Cisurupan dan melanjutkan ke terminal Guntur. Sampai kapan jalur akses menuju pos satu akan seperti ini. Kemana dana relokasi yang diberikan untuk konservasi dan fasilitas wisata termasuk perbaikan jalan akses utama tidak semudah yang dibayangkan?
Akhirnya tampak juga warung kopi di camp David. Pos pertama pendakian. Setelah sekian lama mengantri hingga magrib tiba. Baru kami bisa turun dengan supir gila dan kami siap mengulang memacu adrenalin menuruni tebing dengan mobil bak menuju Cisurupan dan melanjutkan ke terminal Guntur. Sampai kapan jalur akses menuju pos satu akan seperti ini. Kemana dana relokasi yang diberikan untuk konservasi dan fasilitas wisata termasuk perbaikan jalan akses utama tidak semudah yang dibayangkan?
Akhirnya kami
pulang dengan perasaan lega menuju Jakarta, lantunan lagu oplosan melantun
bersama mata-mata kami yang mulai meredup lelah, bersama itu juga aku ingin
sampaikan kepada sahabatku tercinta. Senang bisa berpetualang bersama kalian.
Untuk Belda, Liah, Salby, Hafizhah, Tio, Herman, Arifin, Opick, dan Saipul
Marwan, tidak ada kata bisa ku ungkap selain rasa bangga memiliki sahabat
seperti kalian. I Love You All…
Say... Cihuyyyy.... :)
“Hanya Kita”
“Hanya Kita”
Diamnya kita saat ini, tak bicaranya kita
saat ini semua itu bukan fatamorgana. Karena sejatinya, itulah kita.
Hanya kita yang tahu, apa yang kita rasakan
dalam hati kecil ini. Hanya kita yang mengerti apa yang sesungguhnya menjadi
pergolakan dalam hati kita. Bukanku takut untuk mengatakannya. Tapi, semua
terbentur pada norma, pada batasan, pada ketentuan yang sesungguhnya manusia
itu sendiri yang menciptakannya. Satu harapan yang aku punya kini Sang Maha Cinta
yang memiliki titah atas segala norma yang ada, atas segala batas yang manusia
buat
Saat ini, adanya
kesamaan dalam bathin kita bukanlah kita yang minta. Tumbuh suburnya cinta yang
kita rasa itu juga bukan kita yang cipta. Ketertarikan kita satu sama lain itu
juga bukan sesuatu yang semu. Ini benar nyata adanya. Mungkin itu salah satu
sebab mengapa kita bertemu dan mungkin tidak dapat berpisah. Karena, kita
adalah sama.
Tidak sepatah katapun
yang terucap sebagai pernyataan sebuah afirmasi. Juga, tidak ada setangkai
bunga sebagai simbolisasi. Kita sama-sama hening. Berbicara dalam senyap yang
tak terwakili kata, dengan bahasa yang mengandung jutaan makna, dan dengan
makna yang aku yakin tak tersimbolisasikan dengan apapun. Namun kita saling
mendengar, saling mengerti dan saling memahami. Bahwa…rasa itu benar ada
diantara kita.
Sejatiku adalah laki-laki yang sedang
berusaha memperbaiki diri dan sejatimu adalah wanita yang baik dan setia.
Disini tak pernah sedikitpun kita saling menggoda. Tak pernah kukatakan matamu
indah, senyummu anggun, wajahmu cantik rupawan. Aku mengakui itu dengan sedikit
penekanan pada suaraku. Tapi, aku tahu kata-kata itu cuma milik buaya, bukan
manusia. Dengan harapan kata-kata itu dapat menyihirmu. Semua yang ada pada
dirimu, keindahanmu, kecantikanmu memang benar adanya. Bahkan tak perlu lagi
aku mengucapkannya, dan akupun tak ingin sedikitpun kau mendengarnya dari
mulutku. Tak akan kubanjiri pendengaranmu dengan kata-kata manis dariku agar
kian merah ranum pipimu. Biarkan saja suara itu terbawa bersama angin yang
berhembus perlahan.
0 comments:
Post a Comment